“Sandra!” Pekikan riang terdengar dari bibir seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahunan. Ia berjalan cepat menghampiri wanita cantik yang dipanggilnya.
“Tante Nela. Apa kabar?” Sandra langsung memeluk begitu tubuh wanita itu berada tepat di belakangnya. Ya, itu adalah Tante Nela, wanita yang berjasa besar dalam kesuksesan Sandra.
“Kabar Tante sangat baik. Astaga, bertahun-tahun kita nggak ketemu, Sandra. Kamu jauh lebih cantik,” balas Tante Nela seraya mengusap bahu Sandra.
“Tante bisa saja. Kan kita sering video call-an.
Masa segitu panglingnya sama Sandra,” ucap Sandra. “Justru Sandra takjub sama Tante. Usia sudah kepala lima, tapi tetap kelihatan cantik dan seksi.
Masa segitu panglingnya sama Sandra,” ucap Sandra. “Justru Sandra takjub sama Tante. Usia sudah kepala lima, tapi tetap kelihatan cantik dan seksi.
Tante Nela tersenyum malu. Meski kini masa mudanya telah berlalu, wajah dan tubuh Tante Nela tidak kalah dengan wanita berusia tiga puluh tahunan. Itu karena Tante Nela rajin merawat wajah dan tubuhnya. Selain itu, sampai sekarang Tante Nela masih rutin nge-gym dan fitness. Sayang, sampai sekarang Tante Nela belum memiliki keturunan. Hanya Sandra yang dianggap sebagai anak, tanpa ada niat mengadopsi anak lain. Apalagi saat mama Sandra meninggal lima tahun lalu,
semakin besar pula kasih sayang Tante Nela pada Sandra.
semakin besar pula kasih sayang Tante Nela pada Sandra.
“Kita langsung pulang, ya, San? Tante sudah menyewa asisten rumah tangga untuk menjaga rumah kamu biar nggak kosong. Kamu nggak keberatan, ‘kan?” ujar Tante Nela.
“Tentu saja tidak, Tante. Justru Sandra sangat berterima kasih sama Tante. Tante sudah kaya mama Sandra saja,” balas Sandra.
Tante Nela tersenyum, lalu menggiring Sandra keluar bandara. Di luar, mobil pribadi Tante Nela beserta sopirnya telah siap sedia. Sandra duduk di belakang, berdua dengan Tante Nela.
Mobil pun melaju ….
Sepanjang perjalanan, Sandra sengaja membuka jendela mobil. Udara Jakarta yang pengap menyeruak. Namun, udara inilah yang Sandra rindukan. Pandangan Sandra mengedar, meneliti tiap titik yang terlihat. Banyak perubahan. Kota makin ramai dan sesak. Gedung-gedung tinggi makin banyak.
Pandangan Sandra terpaku pada sebuah gedung sekolah menengah atas. Sekolahnya dulu. Tempat di mana ia merasa menjadi wanita paling malang di dunia. Tempat ia merasakan cinta yang sejatinya cinta, sekaligus tempat yang menikam tepat di
luka hatinya yang selalu merasa pedih.
luka hatinya yang selalu merasa pedih.
Ingatan Sandra melayang pada undangan reuni angkatannya yang tersebar di media sosial. Tiga hari lagi. Sandra berniat mengunjunginya. Ia yakin, Edwin pasti ada di sana. Sandra juga ingin melihat wajah-wajah orang yang dulu menyakitinya, merendahkannya, dan mengkhianatinya. Untuk yang terakhir, ia tujukan untuk Rimanda. Namun, Sandra merasa sedikit geli kala menemukan foto Rimanda di akun instagram Edwin. Rimanda yang sekarang jauh beda dengan yang dulu. Kini, Rimanda tak ubahnya wanita jelek yang gendut.
Ya, semua telah berbalik sekarang.
Sandra menyeringai. Tak sabar menunggu waktu reuni itu tiba.
“Berapa lama kau akan tinggal, San?” tanya Tante Nela, memecah lamunan Sandra.
“Selama mungkin, Tante. Sandra masih merindukan Indonesia. Lagipula, banyak acara yang harus Sandra hadiri di sini. Tante jangan khawatir. Meski Sandra di sini, Sandra masih bisa mengawasi Anela Boutique kita yang ada di Paris,” jawab Sandra panjang lebar.
“Tante senang mendengarnya. Kau bisa mengunjungi tempat-tempat menarik di sini. Kau bekerja terlalu keras, Sandra. Ada baiknya menghibur diri. Kamu mau ke mana? Bali? Lombok?” Tante Nela terus berkicau dengan riang. Sandra tersenyum tanpa menyela ucapannya.
Akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah minimalis yang telah direnovasi total sehingga masih menimbulkan kesan mewah. Sandra menatap rumah itu dengan penuh haru. Rumah yang menaunginya dan mamanya dulu. Pasti Mama yang merenovasinya. Ah, kerinduan membuncah dalam hati Sandra. Merindukan masa lalu dan juga
almarhum Mama.
almarhum Mama.
“Andai Mama masih hidup, apa yang akan Mama katakan pada Sandra kini?” gumam Sandra sambil menyeka air mata. Ia tak sabar untuk masuk ke rumah itu dan menelanjangi berkas-berkas kenangan yang mungkin masih tersimpan rapi di sana.
❀❀❀
Rimanda berada di ruang tengah rumahnya bersama Winda, buah cintanya dengan Edwin. Gadis kecil itu tampak fokus dengan tumpukan buku di depannya. Ia tampak tengah mengerjakan sesuatu, sementara Rimanda mendampinginya dengan sabar. Beberapa
saat kemudian, Winda mendesah, lalu mendorong kursi rodanya ke belakang.
saat kemudian, Winda mendesah, lalu mendorong kursi rodanya ke belakang.
“Winda capek, Ma. Soal-soalnya sulit banget!” keluh Winda.
Rimanda tersenyum. “Bukan soal-soalnya yang sulit. Kamunya saja yang kurang konsentrasi,” ucapnya lembut, lalu mengambil dan membaca buku Winda. “Ini soal yang sangat mudah, Winda. Kau tahu? Waktu SD dulu, Mama sangat menyukai pelajaran matematika.”
“Yaa… soalnya kan Mama pintar. Nggak kaya Winda. Kayanya otak Winda warisan dari Papa deh. Nenek bilang, Papa dulu sering dapat rangking bawah,” ucap Winda dengan lugu.
Tawa kecil terdengar dari bibir Rimanda. Winda memang sangat mirip dengan Edwin, baik rupa maupun tingkah lakunya. Meski Winda tidak terlahir sempurna, ia adalah anugerah terindah untuk Rimanda. Hm … Rimanda menerawang. Andai waktu hamil ia memperhatikan kesehatan dan tidak sampai tertular rubella. Mungkin Winda akan tumbuh selayaknya anak-anak lain yang normal. Beruntung, Winda hanya terlahir dengan kelumpuhan di kaki. Virus itu tidak sampai mengganggu otaknya.
“Oh iya. Kata Papa, Mama dulu pengen banget jadi dokter. Kenapa nggak jadi dokter saja sih, Ma? Kan Mama pintar. Cantik lagi,” tanya Winda.
Rimanda tersedak oleh ludahnya sendiri. Sepenggal kesalahan di masa lalu mampir di otaknya. Kesalahan yang berbuah aib itu telah merenggut cita-citanya, menjebaknya dalam sebuah rumah tangga. Rimanda teringat kemurkaan orang tuanya perihal kehamilannya di luar nikah. Bahkan orang tua Rimanda memintanya untuk menggugurkan janin. Menggugurkan Winda yang mungkin saat itu masih sebesar telapak tangan. Beruntung, Edwin datang dengan gagah dan bersedia mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Semua itu hanya kepingan masa lalu. Kini, Rimanda telah bahagia. Ada Edwin yang akan melindunginya, juga Winda yang menceriakan harinya.
“Tentu saja Mama membatalkan niat jadi dokter karena mau menikah sama papamu yang tampan ini, Win.” Edwin tiba-tiba muncul dan bergabung dengan istri dan anaknya. “Kalau kamu besar nanti, jangan melulu mikirin nikah. Kamu harus bisa menggapai cita-citamu,” lanjutnya.
Rimanda menghadiahi Edwin cubitan kecil di pinggang dan pelototan tajam. Edwin tertawa sambil mengaduh kesakitan.
“Winda ingin jadi dokter. Tapi, apa ada dokter yang nggak bisa jalan kaya Winda?”
tanya Winda dengan ekspresi murung.
tanya Winda dengan ekspresi murung.
“Tidak ada yang mustahil di dunia ini, Sayang. Mama akan berdoa agar kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan. Papa juga akan support kamu dengan bekerja lebih keras,” hibur Rimanda sambil menatap Edwin dengan kerlingan usil.
Mendadak Edwin salah tingkah. Sikapnya jadi kikuk. Namun, ia menyembunyikan keresahan itu dari istri dan anaknya. Seperti ada yang disembunyikan, tapi entah apa.
Tiba-tiba ponsel Edwin berbunyi. Edwin membaca nama yang tertera di layar ponsel dengan mimik muka tegang. Buru-buru ia menjauh dan mengangkat telepon itu. Namun, sepandai apa pun Edwin menyembunyikan sesuatu, Rimanda dapat dengan mudah
menciumnya. Hidup selama sepuluh tahun dengan Edwin cukup membuat Rimanda hafal dengan gelagat suaminya itu.
menciumnya. Hidup selama sepuluh tahun dengan Edwin cukup membuat Rimanda hafal dengan gelagat suaminya itu.
Edwin terus melangkah, sampai akhirnya berhenti di teras rumah. Rimanda mengintip dari ambang pintu. Meski berjarak beberapa meter, tapi Rimanda masih bisa mendengar suara suaminya.
“Aku sudah bilang, jangan telepon kalau aku ada di rumah. Iya, iya aku mengerti. Hutangku pasti akan kulunasi. Hanya saja, aku harus menemukan pekerjaan dulu. Kau tak percaya padaku? Hei, kita ini teman lama, lho! Tenang saja, aku belum miskin! Tabunganku masih ada, tapi itu mau kugunakan untuk buka usaha,” ucap Edwin dengan suara selirih mungkin.
Rimanda tercekat. Apa maksud Edwin?
“Nggak usah lebay! Hutangku nggak ada seratus juta kan? Lagipula kamu kan pegang BPKB mobilku. Takut banget kalau aku nggak bayar!” dengus Edwin.
Apa? Edwin punya hutang seratus juta? Rimanda menutup mulut tak percaya. Seluruh tubuhnya bergetar. Tunggu! Barusan Edwin bilang harus menemukan pekerjaan baru. Itu artinya, Edwin sudah tidak lagi bekerja di hotel? Oh, pantas saja akhir-akhir ini Edwin selalu pulang lebih awal. Kini, tabir itu telah terkuak. Rimanda tak menyangka, suaminya sampai hati menyembunyikan masalah sepelik ini darinya.
Edwin telah mengakhiri percakapannya. Lalu, ia menyumpah serapah dan berbalik arah. Tubuhnya menegang seketika begitu melihat sosok yang berdiri dengan wajah pucat di depan pintu.
“Rimanda?”
Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, dan G+, ya? Kalo info ini bermanfaat buat kamu. Nanti akan langsung saya follback buat yang komentar langsung. Bisa juga follow twitter @anis_sa_ae dan FP Anisa AE biar dapat update info tiap hari ^^v