Istriku/Suamiku Pembunuh (Bukan Aku)
AKU (suami)
Lagi-lagi dia mengacuhkanku. Istri yang selalu mendukungku dan sangat pengertian, tiba-tiba saja mendiamkanku berhari-hari. Padahal saat ini aku sangat membutuhkannya.
“Bunda, minta uangnya!” kataku pelan padanya saat dia sedang mengetik di depan laptop.
Dia diam, wajahnya datar. Sama seperti tadi. Sepertinya dia marah padaku, tapi aku tak tahu kenapa dia seperti itu. Apa salahku?
“Uang lagi? Kali ini buat apa?” tanyanya datar.
“Biasa, rokok! Hehehe,” kataku sambil tersenyum padanya. Berharap dia mau meneruskan percakapan denganku.
Dia langsung berdiri dan mengambil uang sepuluh ribuan di dalam dompetnya, lalu diberikan padaku.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Aku tersenyum, lalu mencium keningnya dengan lembut, “Terima kasih, Bunda!”
Tanpa ba bi bu, aku langsung pergi meninggalkannya menuju warung sebelah. Tujuanku cuma 1, membeli rokok, lalu menikmati setiap asap yang keluar dan masuk dari mulutku. Sudah sehari ini aku belum merokok karena memang tak ada uang untuk membeli rokok. Untungnya istriku selalu baik dengan memberiku uang rokok tiap kali aku memintanya.
***
“Bunda, minta uang lagi …!”
“Buat?”
“Biasa …!”
“Sampai kapan Ayah akan berhenti merokok? Cobalah Ayah rontgen ke rumah sakit agar tahu bagaimana keadaan paru-parumu sekarang!” Suaranya pelan, tapi matanya tetap tak lepas dari layar monitor.
“Please, Bund! Asam banget mulutku kalo gak mengisap rokok!”
“Kalau aku dan anakmu gak makan, sepertinya kamu tetap akan merokok!”
“Aku utang wis …! Kalau pulang kerja pasti kuganti!”
“Apa? Utang? Sudahlah, berapa kali Ayah bilang utang padaku? Toh tak pernah dibayar. Jangankan bayar utang ke aku, utang ke Bibi aja belum kamu bayar!” katanya dengan suara yang meninggi.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Aku diam, tak mungkin berdebat lagi dengannya jika dia mulai mengatakan tentang kebutuhan hidup yang selalu dirasakannya kurang. Istriku memang tak pernah puas dengan hasil kerjaku, padahal aku membanting tulang demi keluarga. Namun, selalu saja ada kekuranganku di matanya.
Tanpa sepengetahuannya, aku mengambil uang di dompetnya. Menurutku, uang yang ada di dompetnya adalah uangku juga. Toh yang mencari uang juga aku. Kok jadi aku yang mengemis ke dia hanya untuk membeli rokok?
***
“Bunda, ambilkan aku minum ….”
“Aku sibuk, ambil aja sendiri!”
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Hh … dasar istri gak punya perhatian ma suami. Masa’ suami minta ambilkan minum aja gak dilayani. Padahal kan udah kewajibannya untuk melayaniku, juga menyiapkan segala kebutuhanku.
Bukannya melayani suami, malah sibuk di depan laptop dengan naskah-naskah yang tak kunjung habis. Padahal aku baru saja pulang dari bekerja. Rasanya ada sedikit sesal di hatiku karena telah memilih dia sebagai istriku.
Tiba-tiba dadaku sakit, terasa ada yang menusuk. Sakitnya luar biasa. Tak tertahankan. Mataku mulai berkunang-kunang, “Bunda ….”
***
“Mbak, istriku ke mana?” tanyaku setelah sadar dari koma.
“Gak tau! Dari kemarin dia gak ke sini! Terakhir kali ke sini saat dia mengantarkanmu ke sini!” jawab Mbak Isti, kakakku, dengan ketus.
“Coba liat di rumah, Mbak.”
“Percuma aku ke sana. Sakit hati kalo liat dia sibuk di depan laptop dan ngurusin anaknya!”
“Mungkin dia sibuk, Mbak!”
“Sesibuk-sibuknya Lisa, seharusnya dia menyisihkan sedikit waktu untuk menemanimu di sini. Bukan malah sibuk dengan laptopnya!”
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Aku diam. Ya, memang tak ada yang dilakukan istriku selain mengerjakan tugas rumah, mengasuh anak kami, lalu duduk di depan laptop. Selalu itu yang dia lakukan ketika aku pulang dari bekerja. Aktivitas yang tak pernah berubah.
“Kamu ceraikan saja dia! Istri kaya’ gitu kok dipelihara!”
“Mbak jangan ngomong kaya’ gitu. Pasti dia punya alasan tersendiri!”
“Alasan apa? Saat kamu koma di rumah sakit, apa dia yang menjagamu? No! Njenguk aja enggak!”
Dadaku sesak mendengar ucapan Mbak Isti tentang Lisa. Ya, Lisa sama sekali tak punya perasaan. Ketika aku terbujur sakit di sini, dia malah tetap asyik dengan kesibukannya. Apalagi kalau bukan sibuk dengan laptop yang tak pernah lepas dari tangannya.
“Josh, kamu gak apa-apa?” tanya Mbak Isti ketika melihatku memegang dada.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Mbak Isti benar, aku tak harus mempertahankan Lisa di sampingku. Toh dia tak pernah bertanggung jawab padaku. Melayaniku pun bisa dihitung dengan jari. Berbeda sekali ketika saat kami baru menikah.
“Biaya rumah sakitnya gimana, Mbak?”
“Gak usah dipikir! Pikirin aja kesehatanmu! Jangan sampai kesehatanmu terganggu!”
“Aku kenapa, Mbak?”
“Ada cairan di paru-parumu!”
Aku diam. Ini pasti karena aku tak pernah mendengar nasehat Lisa. Selalu kuabaikan permintaannya untuk mematikan api rokok. Tapi, sudahlah. Aku memang tak bisa berpisah dari rokok.
“Mbak, bawa rokok?”
“Kata dokter, kamu gak boleh ngrokok dulu!”
“Aku tambah gak sembuh kalo pisah dari rokok!”
“Dasar bandel!” kata Mbak sambil memberikan sebatang rokok padaku, “Sebatang aja!”
***
Tujuh hari aku dirawat di rumah sakit, tapi Lisa tak pernah sekalipun ke sini. Hanya SMS demi SMS yang dia dikirimkan untukku. SMS yang sama tiap 5 jam dan tak pernah kuhiraukan.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Sudah makan belum? Jangan lupa minum obat dan jangan merokok!
Semakin hari, kondisi tubuhku makin menurun. Dadaku semakin sakit dan sesak. Apalagi tak ada Lisa di sampingku. Rasanya seperti tak ada harapan untuk hidup. Tak ada teman, selain sebungkus rokok.
“Sebenarnya Lisa itu maunya apa sih? Seneng kalo liat Josh sekarat kaya’ gini! Aku gak tega kalo harus bilang pada Josh!” terdengar suara Mbak Isti pelan.
“Iya! Bisa-bisanya dia kerja terus, sementara suaminya terbaring di sini! Dikemanain aja uangnya? Tiap hari kerja mulu!” jawab Mbak Hesty.
“Aku juga gregetan sama dia! Dulu aku diam saja dan menyindir-nyindir saja karena dia sangat perhitungan ma suami! Sekarang, dia benar-benar kelewatan!”
Mataku tetap terpejam, hanya telingaku yang terus mendengar percakapan 2 kakakku. Ah …. Istriku ternyata memang ingin membunuhku secara perlahan.
END
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
AKU (istri)
“Dasar kamu pembunuh! Puas kamu kalo Josh mati? Kamu mau mengambil hartanya, kan?” teriak Mbak Isti padaku.
“Mbak gak pantas ngomong kaya, gitu!” ucapku pelan sambil memandang tubuh suamiku yang terbujur kaku.
“Istri macam apa kamu? Ditinggal mati suami aja gak nangis! Memang kamu itu iblis! Tampangmu aja yang sok alim!” kata Ibu Mertua.
Aku tetap diam, berdiri, lalu meninggalkan jenazah suamiku. Sepertinya suamiku akan tenang jika dirawat oleh keluarganya, bukan aku.
“Dasar pembunuh!” teriak Ibu Mertua.
***
“Bagaimana hasil chek up hari ini, Dok?”
“Alhamdulillah, sudah ada peningkatan! Ibu harusnya jaga kesehatan. Apa perlu saya rekomendasikan psikiater untuk Anda?”
“Sepertinya tak perlu!” jawabku pelan, lalu berdiri dan meninggalkan ruang praktik dokter.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Sudah beberapa bulan yang lalu aku merasakan sakit di bagian dada. Karena takut ada apa-apa, aku pun memeriksakannya ke dokter. Aku diminta melakukan rontgen dan hasilnya cukup mencengangkan, paru-paruku terlihat berlubang.
Dokter menyarankanku untuk hidup sehat dan berhenti merokok. Merokok? Membayangkan jadi seorang perokok saja tak pernah, hanya suamiku yang merokok. Namun, aku hanya terenyak ketika mendapati ucapan dokter bahwa perokok pasif beresiko lebih besar daripada perokok aktif.
Aku mulai memberikan masukan-masukan untuk suamiku agar berhenti merokok. Tak jarang mendiamkannya berhari-hari, apalagi jika uangnya habis dan mulai meminta uang padaku untuk membeli rokok. Sering aku menolak memberinya uang, tapi lagi-lagi uang di dompetku akan berkurang dengan sendirinya dan aku hanya bisa diam.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
“Yah, cobalah berhenti merokok!”
“Aku gak akan bisa!”
“Karena Ayah gak mau berusaha!”
“Mungkin lain kali, Bund!”
“Apa Ayah mau rontgen agar tau bagaimana kondisi paru-paru Ayah saat ini?”
“Hahaha, tak perlu, Bund!”
“Uangnya bisa ditabung! Mas Ale aja bisa berhenti merokok, uang buat beli rokok ditabung dan bisa buat beli komputer!”
“Jangan bandingkan aku dengan orang lain!”
“Dengar! Kalau ada apa-apa dengan paru-parumu, aku gak mau membayar biaya perawatan!” kataku sambil mengambil laptop untuk menyelesaikan pekerjaanku.
Aku tak menghiraukannya lagi. Cukup sudah kesabaranku dalam menghadapinya. Tak pernah bosan aku mengingatkan kesehatannya dan selalu kemarahan yang aku terima. Aku tak tahu harus berkata apa lagi padanya.
“Bund, minta uangnya!”
“Buat beli rokok lagi? Daripada buat beli rokok, mending Ayah tabung!” kataku sambil tetap menatap huruf-huruf di layar laptop.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Tak ada suara lagi, aku tahu apa yang dia lakukan, mengambil uang dari dompetku. Kutahan air mata yang perlahan akan jatuh. Aku harus tangguh.
Sore itu sepulang kerja, Mas Josh pingsan. Aku segera membawanya ke rumah sakit, kebetulan dokter yang menanganinya adalah dokter yang menangani kesehatanku pula. Dokter pun menyebutkan rincian biaya yang harus aku keluarkan untuk perawatan, lebih besar dari biaya chek up yang sering kujalani, bukan termasuk biaya operasi.
Aku kelabakan. Apa yang harus kulakukan? Meminjam uang di bank juga tak mungkin, karena masih ada tanggungan beberapa bulan lagi yang harus aku lunasi. Meminjam uang di keluarga? Keluargaku bukan termasuk berada, sama seperti keluarganya Mas Josh. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali lembur, lembur, dan terus lembur menerima orderan mengedit atau berjualan online. Juga menjadi Ibu yang super untuk anak semata wayangku.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Tabungan? Ah, jangan menanyakan tabungan kepadaku. Tak ada uang sepeser pun di tabunganku, yang ada hanya uang untuk modal berjualan lagi. Keuntungan sudah habis untuk biaya sehari-hari yang tak pernah cukup.
Bagaimana bisa cukup dengan 1 juta per bulan? Untuk susu si kecil saja 300 ribu, biaya sekolahnya 100 ribu, jajan, makan, dan tetek bengek lainnya. Belum lagi jika uang belanja harus dipotong pulsa, bensin, dan rokok untuk suami. Tugas istri memang berat, semuanya harus serba perfect.
“Kamu sebagai istri, ya, gimana? Harusnya kamu bisa ngatur keuangan biar pas digunakan dalam 1 bulan!” Begitu selalu ucapan suamiku jika aku mengatakan kurang uang belanja.
“Aku harus bayar hutang ke Bibi 2,5 juta. Udah 2 tahun belum lunas juga!” ucapnya ketika aku minta tambahan uang belanja.
“Salah sendiri kerja 2 minggu, 2 minggu di rumah. Belum lagi kalau kerja 2 minggu, 3 bulan di rumah! Apa itu salahku juga?” kataku mulai meradang. Ya, pertengkaran selalu terjadi karena uang.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Namun, lagi-lagi aku pilih mengalah daripada bertengkar yang tak ada habisnya. Toh aku bisa bekerja untuk menutupi seluruh biaya hidup. Bahkan usahaku tak pernah berkembang karena keuntungan selalu habis untuk makan. Terkadang harus jungkir balik mengembalikan modal.
Dasar pembunuh! Sebuah SMS masuk ke dalam handphoneku.
Kulemparkan handphone ke atas kasur, lalu pandangan beralih ke luar jendela, melihat kupu-kupu yang terbang dengan bebasnya. Mata pun kembali menatap hasil rontgen anakku 2 hari lalu yang kini berada di tangan kananku.
“Suamiku, kini kau membunuh kami, istri dan anakmu secara perlahan! Aku tak tahu di luar sana sudah kau bunuh berapa orang ….”
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});