Anisa AE – Sandra langsung masuk kamar dan membenamkan wajah dalam-dalam pada bantal. Tangisannya pecah, menyesali pengkhianatan yang terjadi. Berulangkali ponselnya berbunyi, tapi tak dihiraukan. Untuk apa? Satu-satunya yang sudi meramaikan ponsel Sandra adalah Rimanda. Sandra tak ingin mendengar serangkaian permohonan maaf darinya. Pengkhianatan ini terlalu sakit.
Entah berapa lama Sandra menangis, yang jelas matanya kembali terbuka kala mendengar pintu depan yang dibuka, disusul dengan suara riang dua orang wanita yang mengobrol. Pasti Mama dan Tante Nela, sahabat sekaligus bos Mama. Tante Nela adalah desainer sekaligus pemilik butik tempat Mama bekerja, salah satu orang yang sangat Sandra kagumi. Sejak dulu, Sandra ingin sekali seperti beliau. Bisa kuliah desain di Prancis, sukses sebagai desainer ternama, dan sukses berbisnis dengan butik-butiknya.
“Sandra? Kamu di kamar, ‘kan? Keluar, yuk?”
Sandra tergeragap. Segera ia mengusap wajah, menghapus sisa air mata. Mama tak boleh tahu Sandra menangis, apalagi hanya karena laki-laki. Sandra bergegas keluar dan menuju ruang tamu.
Di sana, Mama duduk di sofa dengan Tante Nela. Seperti biasa, penampilan keduanya tampak elegan dan berkelas. Meski keadaan ekonomi keluarga tak seperti dulu, Mama tetap pandai merawat diri dan fashionable. Mama tampak anggun dengan balutan merah maroon berhiaskan renda-renda besar, celana jeans hitam ketat, dan wedges hitam berhiaskan mutiara. Sementara Tante Nela memakai kemeja tanpa lengan warna hijau pucat, rok pendek putih, dan high heels warna senada dengan bawahan.
“Bikinin minum gih,” pinta Mama begitu melihat Sandra.
Sandra lekas ke dapur dan menyiapkan sepasang cangkir untuk membuat kopi tanpa gula kesukaan Mama dan Tante Nela, dengan berbagai rasa yang berkecamuk dalam jiwa. Sandra mendesah. Mama sangat cantik. Namun, mengapa kecantikannya tidak menurun pada Sandra? Namun, ia sadar kesalahannya sendiri. Waktu Sandra beranjak remaja, Mama sering memperingatkan untuk mengatur pola makan, olahraga teratur, dan merawat muka dengan ramuan tradisional. Namun, Sandra mengabaikan itu semua. Ia pikir, cinta dan persahabatan tidak memandang rupa, karena sosialisasinya waktu SMP terbilang sangat baik.
Setelah mengaduk kopi dan meletakkannya di nampan, Sandra lekas kembali ke ruang tamu.
“Rencana mau lanjut ke mana, San?” tanya Tante Nela begitu Sandra menata cangkir berisi kopi itu di meja.
Sandra menelan ludah. “Mau kuliah desain sih, kalau Mama mengizinkan. Tapi, masih belum tahu kuliah di mana. Wong kemarin
nggak masuk di universitas negeri,” jawab Sandra, lalu tertawa cekikikan.
nggak masuk di universitas negeri,” jawab Sandra, lalu tertawa cekikikan.
“Aku pengennya dia ambil kuliah yang kerjanya sudah pasti gitu lho, Nel. Manajemen kek, atau hukum kek. Ambil teknik kan juga bagus,” bela Mama.
Tante Nela tertawa renyah. “Arin, Arin … ck ck ck … memangnya jurusan desain nggak bagus? Jangan lupa, aku dulunya ambil desain lho. Kamu malah ambil sekretaris. Jadinya, sekarang kamu kerja sama aku.” Ucapan Tante Nela membuat Mama ikut tertawa.
Bagi orang lain, mungkin ucapan Tante Nela sangat menyinggung. Namun, Sandra dan Mama memakluminya. Tante Nela memang ceplas-ceplos. Tapi, aslinya dia itu baik. Selain menolong Mama dari keterpurukan batin maupun ekonomi, ia juga sering menolong Sandra. Dulu, Tante Nela yang membayar iuran sekolah Sandra. Selain itu, Sandra mendapat banyak ilmu tentang desain dari sahabat Mama yang cantik ini.
“Sebenarnya gini lho, Rin. Aku tuh ada feeling kalau Sandra cocok banget jadi desainer. Dia sangat berbakat. Aku sudah memikirkan ini jauh-jauh hari. Bagaimana kalau Sandra kuliah desain di Prancis?”
Mama tersedak dan Sandra tercengang. Apa Tante Nela mengigau? Jangankan buat kuliah di luar negeri, kuliah di universitas favorit saja akan Mama pikirkan ribuan kali. Biaya dari mana coba? Memang kuliah desainer di Prancis juga menjadi salah satu impian Sandra. Namun, itu terlalu muluk.
“Semua biaya, aku yang nanggung,” lanjut Tante Nela, menambah keterkejutan kami.
“Jangan seperti itu, Nel! Kamu sudah banyak bantu kami lho! Aku masih bisa nguliahin Alessa di universitas dekat-dekat sini,” sergah Mama dengan ekspresi tak menentu, sementara Sandra membisu.
“Aku melakukan ini bukan tanpa syarat lho? Aku mau nguliahin Sandra, asal dia serius dan rajin. Setelah lulus, dia bisa bantu mengelola butikku. Sebagian hasil dari kerjanya nanti bisa untuk mengembalikan biaya kuliah selama di Prancis. Ayolah, aku sudah memikirkan ini masak-masak. Kau sendiri tahu, aku tak memiliki anak. Sandra bisa mengisi kekosongan yang ada, bukan?”
“Tapi, Tante!” potongku. “Alessa nggak bisa Bahasa Prancis!”
Tante Nela tersenyum. “Dulu, Tante juga nggak bisa Bahasa Prancis. Tapi sebelum berangkat, Tante mempersiapkan diri dengan kursus. Nanti, kursus bisa dilanjutkan di sana. ”
Sandra menghela napas, lalu menatap Mama yang tak berkedip. Entah apa yang berusaha beliau isyaratkan. Sungguh, ini berat. Kali ini, Tuhan memudahkan langkah Sandra untuk mengambil salah satu impian. Namun, Sandra tetap memikirkan banyak pertimbangan.
Mungkin Tante Nela akan menanggung kuliah Sandra dengan syarat yang diajukannya tadi. Namun, apakah beliau juga akan menanggung biaya keseharian Sandra di sana? Selain itu, Sandra adalah satu-satunya keluarga yang Mama miliki. Sampai
hatikah ia meninggalkan Mama di sini?
hatikah ia meninggalkan Mama di sini?
Rupanya Tante Nela mampu membaca kegelisahanku.
“Kamu tidak harus jawab sekarang, San. Pikirkan saja dulu tawaran Tante ini. Tapi yang pasti, Tante membutuhkan jawabanmu segera. Kalau kamu setuju, Tante akan langsung menghubungi kenalan Tante yang jadi dosen di sana. Namanya Madame Legrand.”
Sandra mengangguk dan tersenyum dengan bibir bergetar.
❀❀❀
Sudah empat hari ….
Sandra bergolek di ranjang dengan gelisah. Berulangkali ia mengutak-atik ponsel, tak menentu apa tujuannya. Tawaran menggiurkan Tante Nela masih menari dalam benak, bercampur dengan kekecewaan yang diakibatkan oleh patah hati.
Ego Sandra bersorak, memaksa untuk menerima tawaran itu. Hitung-hitung sebagai pelarian. Namun, akal sehat Sandra masih bekerja. Jika ia kuliah di luar negeri hanya demi pelarian, semua tidak akan berakhir baik. Ia berusaha berpikir positif. Menjadi lulusan universitas luar negeri akan membantu Sandra untuk mencapai karir bagus setidaknya di dalam negeri. Biasanya, lulusan luar negeri
memang lebih disegani.
memang lebih disegani.
Namun, bagaimana dengan Mama jika Sandra berangkat ke Prancis? Meski semalam Mama berusaha meyakinkan Sandra jika dirinya akan baik-baik saja, tetap saja Sandra kepikiran.
Sandra berjingkat kala ponselnya berbunyi. Telepon dari Rimanda. Di hari-hari sebelumnya, Sandra akan langsung menolak panggilan itu. Namun, entah mengapa kali ini ia tergelitik untuk menerima telepon itu. Pasti Rimanda akan membujuknya dengan jutaan alasan cengeng. Sandra bisa menebaknya.
“Halo?” sapa Sandra dengan suara parau. “Halo, San? Syukurlah, akhirnya kamu mau angkat teleponku,” balas Rimanda riang.
“Ada apa?” tanya Sandra, masih dengan intonasi datar.
Pembicaraan terjeda. Butuh waktu beberapa detik bagi Rimanda untuk bisa bersuara.
“Aku minta maaf. Aku benar-benar nggak menyangka kalau waktu itu Edwin bakal nembak aku.”
“Terus?” kejar Sandra.
“Tapi, aku nggak bisa membohongi perasaanku, San. Aku juga cinta sama Edwin. Maafin aku. Aku nggak bermaksud mengkhianati kamu,” sesal Rimanda.
“Jadi, kamu sadar kalau kamu pengkhianat?” tantang Sandra.
Rimanda terdiam. Sebelah bibir Sandra terangkat, menyeringai, mengasihani dirinya sendiri.
“Yang bikin aku sakit hati, kamu kasih aku harapan palsu, Rim! Buat apa selama ini kamu sok-sokan mendukung kisah cintaku jika akhirnya seperti ini? Aku tahu, aku nggak secantik kamu! Aku cuma cewek menyedihkan. Tapi, aku nggak butuh kasihanmu, Rim! Thanks, berkat kamu, aku jadi semakin sadar, sejatinya sahabat itu nggak pernah ada!” Nada suara Sandra meninggi. Emosi yang ingin dilontarkan pada Rimanda beberapa hari lalu, kini tumpah ruah.
Terdengar isak tangis. Ya, di ujung sana, Rimanda memang menangis.
“Jangan seperti itu, San. Aku benar-benar minta maaf. Aku—”
Sandra segera mengakhiri panggilan. Buru-buru disekanya air mata yang hendak keluar. Ia bersumpah untuk tidak mengeluarkan setetes air mata pun hanya karena Rimanda. Buat apa? Toh, kini Rimanda telah bahagia dengan Edwin. Bahagia dengan laki-laki yang seharusnya menjadi jodoh Sandra.
Sandra menghela napas panjang. Ia kembali meraih ponsel dan membuka aplikasi WhatsApp. Sebuah pesan suara dikirimkan untuk Mama.
“Ma, tolong bilang ke Tante Nela. Sandra mau kuliah di Prancis. I love you, Ma.”
Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, dan G+, ya? Kalo info ini bermanfaat buat kamu. Nanti akan langsung saya follback buat yang komentar langsung. Bisa juga follow twitter @anis_sa_ae dan FP Anisa AE biar dapat update info tiap hari ^^v