Sungguh melelahkan jika harus menata rumah sendiri, untungnya perumahan yang dipilihkan oleh Alex tidak sebesar rumah mereka. Hanya rumah kecil ukuran 7×11 meter dengan dua kamar, satu dapur, satu ruang tamu, satu ruang makan, juga satu kamar mandi. Pastinya ada garasi yang hanya muat untuk satu mobil.
Sebenarnya tak terlalu sulit menata rumah sesuai dengan apa yang diharapkan, apalagi dibantu dengan beberapa orang untuk memasang wall sticker dan juga mengangkat-angkat barang-barang. Namun, saat melakukannya dengan hati yang tak ikhlas, maka saat itu juga tubuhnya sudah lelah.
Dua bed sudah masuk di tempatnya masing-masing. Di kamar Brama, tetap dengan nuansa biru langit dan wall sticker burung yang terbang. Sementara di kamar Sasha bernuansa pink dengan sticker Hello Kitty yang menempel di dinding.
Lemari yang berada di kamar pun tak sebesar di kamar mereka sebelumnya. Menyesuaikan dengan baju dan barang yang akan dipakai setiap hari. Lemari es berada di dapur, sedangkan mesin cuci berada di belakang, dekat dengan tempat jemuran. Semua sudah ditata dengan rapi.
Kamar Brama sejajar dengan ruang tamu, kamar Sasha sejajar dengan dapur dan ruang makan. Di antara kamar mereka terdapat satu kamar mandi. Tak ada yang menarik dari rumah yang baru mereka tinggali, selain dari penghuni yang berstatus pengantin baru.
Saat orang-orang yang membantu menata rumah sudah meninggalkan rumah itu, Sasha mulai gelisah. Berkali-kali dia berjalan dari kamarnya menuju ruang tamu. Tak mungkin dia keluar rumah, karena di halaman depan masih ada Brama sedang sibuk menata pot bunga.
“Yah, ayo pulang.” Tiba-tiba saja Sasha mengajak ayahnya meninggalkan rumah mungil itu.
“Kenapa?”
“Mau ambil buku buat sekolah besok.”
“Udah diambilin kok sama sopir.” Widya menjawab sambil mengeluarkan bahan makanan di meja dapur. “Bantu Ibu masak sini. Pasti yang lain pada lapar.”
Sasha cemberut, tapi tetap menghampiri sang ibu yang sudah sibuk di dapur bersama dengan mertuanya. Dia sungguh tak tahu harus berbuat apa saat berada di rumah baru. Takut salah melakukan sesuatu. Apalagi Brama sama sekali belum menyapanya. Tinggal serumah dengan orang yang tak menyapa kita itu menyakitkan. Apalagi hanya berdua, ah tidak, ada pembantu yang akan datang setiap hari.
Tak lama, makanan pun sudah tersaji di meja makan. Aroma wangi yang menguar membuat perut keroncongan, apalagi untuk Sasha. Entah kenapa dia bisa dibilang suka makan, tapi tubuhnya tetap ideal, tidak gemuk sama sekali. Membuat para wanita di luar sana iri. Apalagi untuk para wanita yang sukanya menghitung kalori.
“Wah, enak banget nih.” Atmaja muncul di dapur, lalu memeluk pinggang istrinya.
buy canadian clomid online https://mabvi.org/wp-content/languages/new/canadian/clomid.html no prescription
buy canadian clomid online https://mabvi.org/wp-content/languages/new/canadian/clomid.html no prescription
“Masakan Mama memang juara!” Alex ikut berkumpul, tak mau kalah, dia pun mencium pipi Viona, lalu memeluk istrinya.
Sasha tersenyum, senang melihat pasangan yang akur seperti itu. Padahal umur mereka sudah tidak bisa dibilang muda.
Tiba-tiba Brama pun muncul, melihat kemesraan orang tua dan mertuanya, wajahnya memerah. Segera dia pergi ke belakang untuk cuci tangan. Tak mungkin jika dia mengikuti jejak dua lelaki itu dengan memeluk Sasha. Bisa jadi ramai nanti.
Memeluk? Brama memainkan air yang mengalir ke tangan besarnya. Bagaimana rasanya memeluk gadis itu? Jangankan memeluk, memegang tangannya saja, dia tak berani. Rasanya berbeda dari saat mereka di taman belakang rumah Brama dulu.
Dulu, Brama menggoda Sasha sampai wajah gadis itu bersemu merah. Namun, kali ini mungkin dia yang akan memerah karena tak tahu harus melakukan apa jika bersama gadis bawel dan manja itu. Sejak mereka menjadi suami istri secara sah di mata hukum dan agama, saat itu pula debar di hatinya mulai berbeda.
“Kok nglamun aja sih? Gak lapar? Masuk gih. Ditunggu sama yang lain.” Sasha muncul di pintu belakang, membuyarkan semua yang ada di pikiran Brama.
Brama berdiri tegak, tangannya sudah bersih, tapi masih ada yang mengganjal di hatinya. “Kamu sebenarnya mau gak sih tinggal di sini?”
Sasha menatap suaminya dengan pandangan tak bisa diartikan. Akhirnya lelaki itu mau juga berbicara padanya. Antara mau dan tidak. Sebenarnya dia tak siap jika harus tinggal satu atap dengan suaminya. Namun, tak ada pilihan lain. Tak mungkin sendirian di rumahnya. Tak jelek juga jika harus belajar menjadi seorang istri, apalagi tinggal dengan Brama.
Brama menarik napas panjang, kediaman Sasha membuat lelaki itu tahu bahwa gadis itu memang tak mau tinggal satu rumah dengannya. Kecewa? Jelas. Siapa yang tak kecewa jika harus tinggal dengan orang yang sama sekali tak siap menerima kehadirannya. Brama teringat bahwa pernikahan mereka hanya di atas kertas. Bukankah dulu dia sendiri yang mengatakan bahwa mereka akan segera bercerai?
Dengan langkah berat, Brama meninggalkan Sasha yang masih mematung. Dia menuju ruang makan yang sudah diatur agar bisa dibuat makan untuk enam orang. Beberapa kursi diseret ke ruang makan agar mereka bisa tetap satu meja.
“Sha? Kok malah gak masuk?” tanya Widya yang tak urung membuat Sasha tersadar, lalu mengikuti langkah suaminya.
Mereka duduk di melingkari meja makan, lalu berdua. Tak lama, Widya dan Viona mengambilkan makanan untuk suami masing-masing secara bergantian.
buy canadian amoxicillin online https://mabvi.org/wp-content/languages/new/canadian/amoxicillin.html no prescription
Lalu disusul Sasha, tapi hanya mengambil untuk dirinya sendiri. Brama pun mengikuti.
buy canadian amoxicillin online https://mabvi.org/wp-content/languages/new/canadian/amoxicillin.html no prescription
Lalu disusul Sasha, tapi hanya mengambil untuk dirinya sendiri. Brama pun mengikuti.
“Sha, sebagai istri itu harus mendahulukan suami.
buy canadian amoxil online https://mabvi.org/wp-content/languages/new/canadian/amoxil.html no prescription
Bukan malah sebaliknya. Lagian tuh harusnya si Brama kamu ambilin dulu makannya,” tegur Widya pada putrinya.
buy canadian amoxil online https://mabvi.org/wp-content/languages/new/canadian/amoxil.html no prescription
Bukan malah sebaliknya. Lagian tuh harusnya si Brama kamu ambilin dulu makannya,” tegur Widya pada putrinya.
“Gak papa kok, Bu. Sasha kan belum terbiasa,” jawab Brama sambil tersenyum pada ibu mertuanya.
Sasha menepuk dahinya. Pelajaran pertama. Memang seharusnya dia mengikuti apa yang dilakukan oleh ibunya, bukan malah mengambil untuk dirinya sendiri. Entahlah, saat melihat makanan, semuanya seolah kosong. Hanya ada nasi dan lauknya yang menari-nari di benak Sasha.
“Iya, Bu. Sasha lupa. Lain kali deh,” jawab Sasha, lalu meneruskan makannya tanpa memandang Brama.
Brama menarik napas panjang lagi. Entah sudah berapa kali tarikan napas panjang yang dia buat hari ini. Semua karena Sasha. Mungkin gadis itu memang belum terbiasa melayani sang suami. Melayani? Seharusnya memang tak perlu. Toh nantinya mereka akan bercerai. Dia tak ingin bergantung pada gadis itu.
Mereka makan dalam diam, hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Sampai semuanya sudah tandas, termasuk di piring Sasha dan Brama.
“Ayo ditata lagi kursinya, kita segera pulang. Mereka langsung tinggal hari ini aja,” ucap Alex pada sahabatnya.
Atmaja mengangguk, “Iya, sekalian kita siapkan untuk keberangkatan besok. Kita tak ingin ketinggalan pesawat, kan?”
“Oke, aku bersihin meja makan dulu, ya? Sekalian cuci piring.”
“Aku bantuin, ya?” Widya langsung mendekat ke arah Viona.
Sasha hanya diam di tempat duduknya, tidak berdiri ataupun ikut membersihkan meja. Pikirannya tertuju pada nasi dan lauk yang satu per satu hilang dari atas meja.
“Sha? Kok nglamun aja? Ayah sama Ibu pulang dulu, ya?” pamit Atmaja.
“Oh, iya.” Akhirnya Sasha berdiri dari duduknya. Mendekat ke arah orang tua dan mertua yang sudah bersiap meninggalkan rumah.
“Kalian hati-hati, ya?” pamit Widya sambil melambaikan tangan saat sudah berada di dalam mobil.
Sasha ikut melambai, lalu memandang kepergian kedua orang tuanya dengan pandangan kosong. Kini, hanya ada dirinya dan Brama.
Dengan cepat, Sasha berlari ke arah dapur lagi. Dia mengambil piring dan lauk, lalu duduk manis di meja makan. Untung saja mertuanya itu segera pulang. Jadi, dia bisa segera makan tanpa harus malu.
“Oh, tadi belum kenyang? Kenapa gak ngomong aja kalo masih lapar,” tanya Brama pada Sasha saat mau menuju kamarnya.
Sasha tak menjawab, dia terus makan dalam diam. Brama akhirnya masuk ke kamarnya, lalu keluar lagi dengan handuk yang mengalung di leher dan beberapa potong pakaian di tangan.
Gadis itu melirik sang suami yang menuju kamar mandi. Masa bodoh dengan lelaki itu, baginya, yang penting makan.
Selesai mencuci piring bekas makannya, Sasha masuk ke kamarnya, keluar lagi dengan handuk di tangan, lalu menunggu di kursi makan. Diketuk-ketuknya meja makan dengan gelisah, sudah hampir malam, tapi dia belum juga membersihkan diri.
Akhirnya pintu kamar mandi pun terbuka. Brama keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Beberapa tetes air turun dari rambutnya, terlihat segar dan makin tampan. Lelaki itu kini telah memakai kaus yang berbeda, lebih ketat dari sebelumnya.
Sasha memandang tanpa berkedip, diam-diam dia menelan ludah. Tak menyangka bahwa suaminya memang terlihat sangat tampan, apalagi dengan tubuh yang dibalut kaus ketat. Bagaimana jika lelaki itu tidak mengenakan kaus?
“Ya Tuhan, kuatkan hamba,” kata Sasha di dalam hati. Kali ini selain belajar menjadi istri yang baik, dia pun harus belajar menahan diri jika bertemu suaminya setiap hari.
Akhirnya sudah seatap. Yeeey. Tunggu part selanjutnya yaaa.
Pelan-pelan aja sambil dinikmati ceritanya. Jangan lupa komentar pokoknya. Love all. ☺️