“Lho ada Nak Galang.” Widya menyambut seseorang yang muncul dari balik pintu.
“Sore, Om, Tante.” Galang langsung masuk, lalu mencium tangan kedua orang tua Sasha.
“Galang, buruaaan!” Sasha tak sabar saat melihat bungkusan yang dibawa oleh temannya itu.
“Iya-iya bawel. Aku siapin dulu buat kamu,” kata Galang sambil berjalan ke arah nakas. Dia cukup mengagumi penataan kamar rumah sakit yang berasa seperti di rumah sendiri. “Keren, ya, kamarnya.”
“Iiih gak keren. Wong di rumah sakit kok bilang keren sih,” timpal Sasha sambil mengerucutkan bibir.
Galang tertawa, lalu memberikan mi ayam yang sudah berada di atas piring kepada gadis itu, “Nih puas-puasin kalo makan. Jarang-jarang lho aku beliin.”
“Yeee kamu perhitungan banget sih.”
“Nak Galang, kami tinggal dulu, ya? Mau makan di kantin,” pamit Widya.
“Sasha mau nitip apa?” tanya Atmaja pada putrinya.
“Batagor, ya, Yah?” Sasha tersenyum lucu yang dijawab dengan anggukan kepala oleh ayahnya.
“Kamu mau makan batagor lagi?” Mulut Galang ternganga, tak menyangka bahwa temannya itu tetap suka makan. “Nanti kamu gendut lho. Harusnya kan udah jaga bentuk tubuh.”
“Habisnya kamu bawain cuma satu sih. Kan gak kenyang,” jawab Sasha tanpa rasa bersalah.
Sementara Galang hanya menggelengkan kepalanya.
Widya dan Atmaja pergi ke kantin, hanya ada Galang dan Sasha di dalam kamar. Sasha memakan mi ayam tanpa bersuara, beberapa kali dia berdesis karena kepedasan. Sebotol air mineral ukuran 500ml telah tandas setengah, sementara mi ayamnya tinggal beberapa kali suapan.
“Di SMA Merdeka, enak, ya?” tanya Galang ketika mi ayam di atas piring telah habis.
“Kok bisa enak?” tanya Sasha tak mengerti.
“Enak banget, soalnya banyak cewek cantiknya. Pastinya juga banyak cowok tampan. Kan sekolahnya orang kaya tuh.”
“Hihihi, emang sih banyak yang cakep, tapi ya itu, otaknya lebih bagusan kita. Ya, walaupun kita gak cakep,” ujar Sasha sambil memberikan piring ke Galang.
“Kamu punya pacar dong di sana?” tanya Galang tiba-tiba.
“Pacar? Siapa yang bakal mau sama aku? Liat aja penampilan aku. Ya seperti ini kalo ke sekolah. Beda sama pas SMP dulu.” Sasha tertawa, menunjukkan giginya yang tertata dengan rapi.
“Bagus dong, artinya cuma aku aja yang tahu. Hehe.”
“Maksudnya apaan?”
“Eh, gak ada. Sepi tuh kalo gak sama kamu di perpus. Gak ada saingannya juga di sekolah. Gak ada yang bisa diajak debat soal macam-macam.” Galang menatap Sasha dengan intens.
“Sama. Sepi banget gak ada kamu. Apalagi kalo pas pulang sekolah, langsung pulang. Gak ke mana-mana.” Sasha mengingat saat-saat di SMP dulu bersama Galang.
“Kamu gak kangen aku?” tanya Galang tiba-tiba.
“Enggak. Ngapain kangen kamu?” jawab Sasha sambil menjulurkan lidahnya.
“Apa? Dasar kamu itu tetep aja gak berubah.” Galang langsung melancarkan serangan, jari-jarinya menggelitik telapak kaki Sasha.
“Aih, jangaaan. Geliii. Ampun-ampun.”
“Ehem.” Sebuah suara terdengar di ambang pintu. Brama pun langsung memasuki ruangan sambil tangannya membawa sebuah buku.
Sasha salah tingkah, dia tak ingin jika Brama salah paham. Namun, bukankah mereka tidak melakukan apa pun? Hanya bercengkrama dan bercanda seperti biasanya, layaknya seorang teman.
“Jam besuk sudah habis,” kata Brama tegas pada Galang.
“Oh, iya, Kak. Gak sadar tiba-tiba aja udah lama banget ada di sini,” jawab Galang pada Brama.
“Sha, aku pulang dulu, ya? Kalo udah masuk sekolah, kasih tau aku, nanti aku barengin pulangnya.”
Sasha mengangguk, lalu melihat Galang yang berjalan ke arah pintu.
Galang merasakan aura yang tidak bersahabat dari lelaki di depannya. Padahal jarum panjang jam dinding belum menunjukkan di angka dua belas. Masih ada beberapa puluh menit sebelum waktu jenguk habis. Seolah-olah dia telah melakukan kesalahan fatal karena menjenguk Sasha. Di mana salahnya? Bukannya mereka memang berteman sejak SMP? Lelaki itu saja yang terlalu berlebihan.
“Kok lama sih?” tanya Sasha.
“Beresin tugas dulu. Besok aku udah izin gak ngajar,” jawab Brama berbohong. Sebenarnya dia telat karena harus mengurus hal lain yang tak ada hubungannya dengan sekolah. Untuk izin mengajar, dia tak melakukan izin. Tiba-tiba saja saja ingin tinggal lebih lama bersama gadis itu di luar jam sekolah saat melihat teman masa SMP Sasha dulu.
Sasha mengangguk sambil mengulum senyum, senang rasanya bisa bersama Brama lebih lama, walaupun hanya di rumah sakit.
“Ngapain dia?” tanya Brama sambil menuju jendela.
“Dia? Galang maksudnya? Dia jenguk aku sambil bawain mi ayam,” jawab Sasha.
“Receh banget, njenguk kok bawain mi ayam. Buah kek, atau apa gitu. Bukan malah mi ayam.”
“Kok gitu sih? Itu mi ayam istimewa lho. Langganan kami saat sekolah dulu. Udah hampir dua tahun gak makan mi ayam itu. Pastinya kangen dong,” ujar Sasha sambil mengerucutkan bibirnya.
“Kangen mi ayam atau kangen Galang?”
“Kangen mi ayam. Aku gak bilang kangen Galang lho.” Sasha langsung menjawab dengan bibir yang makin maju. Hatinya bergetar hebat, takut Brama marah karena melihat keakrabannya dengan Galang.
“Hmmm.”
“Ya udah kalo gak percaya.” Ucapan Sasha tidak ditanggapi sama sekali.
Brama hanya diam sambil memandang ke luar jendela, tanpa menghiraukan gadis itu.
“Iya-iya aku kangen Galang. Puas? Aku telponin Galang lagi aja deh biar ke sini.” Akhirnya Sasha berucap dengan nada jengkel. Sebal rasanya jika tak dipercaya oleh orang lain.
Sasha langsung mengambil handphone jadulnya, lalu memencet beberapa tombol. Tak berapa lama, Sasha pun berkata, “Lang, kamu masih di RS, kan? Jangan balik, aku masih kangen sama kamu.”
Brama langsung menoleh dengan mata terbelalak, tak menyangka bahwa Sasha akan menelepon Galang dan mengatakan kangen pada lelaki itu. Sungguh hal bodoh yang membuatnya geregetan. Apa gadis itu tak tahu bagaimana rasanya dikhawatirkan oleh orang lain? Dicemburui karena kedekatannya dengan lelaki yang bernama Galang itu.
Cemburu? Brama menggelengkan kepala pelan. Tidak. Dia tak mungkin cemburu pada gadis yang beberapa tahun lebih muda darinya. Gadis yang bahkan belum bisa menggantikan posisi perempuan itu di hatinya. Hanya khawatir dengan kesehatan gadis itu. Hanya itu.
“Syukur deh kalo kamu masih di parkiran. Aku masih kangen nih sama kamu.” Sasha menghentikan ucapannya, menunggu beberapa saat.
“Ooh, dia kakakku. Emang gitu kok orangnya, gak terlalu suka sama orang baru. Tenang aja. Kamu ke sini yaaa. Aku kangen niiih.” Suara Sasha sengaja dibuat manja.
Dengan cepat, Brama menghampiri gadis itu, lalu mengambil handphonenya. Tak sabar rasanya mendengar suara manja Sasha untuk Galang. Apalagi ditambah dengan raut wajah yang membuat Brama jengkel. Kangen? Masa bodo dengan kangen yang dikatakan oleh Sasha, Brama tak peduli.
“Denger ya! Kamu jangan pernah menghubungi Sasha lagi. Gak usah jenguk dia di rumah sakit dan yang pasti, dilarang antar jemput dia. Gak usah sok baik dengan hubungi Sasha terus!” ucap Brama keras dan tegas pada handphone yang tengah dipegangnya.
Whaaat? Hanya khawatir dengan kesehatan Sasha. Jaim banget sih Mas Brama, gemeeees.
Tungguin part selanjutnya yaaa. Doain hape saya sembuh, susah banget ngetiknya kalo hape sakit. Gak bisa ngetik cepet dan bawaannya pingin nangis.
Ditunggu 100 komentarnya yaaa. Makin banyak, makin cepet updatenya. Serius ini nungguin 100 komentar lho. Part selanjutnya setelah ada 100 komentar. Hehehe.
Love all.