“Hai, kamu masih di sana?” suara Andik mengaburkan lamunku.
“Iya, aku masih di sini, melihatmu ada di antara awan yang ada di depanku.”
“Ya sudah, hati-hati di jalan. Aku sudah siap dengan sekotak cokelat dan setangkai bunga mawar!”
“Hai, sekarang bukan hari valentine!” kataku sambil menahan senyum.
“Tak ada hari valentine untukku. Semua hari adalah hari kasih sayang, untukmu,” katanya lembut.
“Ya, sudah, Assalamualaikum.” Kumatikan telepon tanpa mendengar jawaban salamnya.
Well, dia pasti sudah menebak warna apa di wajahku sekarang karena kalimat romantisnya. Sungguh, dia selalu bisa membawaku terbang di antara awan. Ah, sekarang aku tak ingin memegang awan, karena dia telah membawaku ke sana. Terbang di antara awan.
“Hik hik hik,” suara wanita di sebelah membuat keningku mengernyit.
“Ada apa, Mbak?”
“Dia menalakku, dia menalakku!” kata wanita itu dengan menjambak rambutnya. Air mata membasahi pipinya yang putih. “Aku tak akan bisa memaafkan wanita yang merebut suamiku! Aku akan membunihnya!!”
Tubuhku terlonjak ke belakang. Seperti inikah cinta?
Flash Fiction ini ditulis untuk ikut program Simulasi Kompetisi Menulis