Awan putih seolah bisa kugapai, ah, seandainya tangan ini bisa dikeluarkan lewat jecdela, pasti jemariku bisa menggapainya. Sayangnya pramugari tak akan membolehkanku menyentuh awan. Ah, perjalanan ke Bali yang pertama, pasti akan terasa menyenangkan jika dia juga berada di sini, di sampingku.
Tapi tidak, dia di sana menungguku. Menunggu dengan cinta yang telah dijanjikannya untukku. Anik, tunggu aku di sana, aku akan datang untuk memenui panggilanmu. Ah, panggilan keluargamu tepatnya. Mereka ingin mengenalku lebih dekat, tapi karena tugasmu yang tak bisa ditinggal, aku harus sendirian datang ke sana, menemuimu.
“Mbak, ada perlu apa ke Bali?” tanya seorang wanita hamil yang duduk di sebelahku.
“Menemui kekasihku, ehm, tepatnya calon suamiku,” jawabku tersipu.
“Ah, indahnya masa remaja, ya? Heheh.”
“Ya, begitulah. Mbak mau apa ke sana?” tanyaku balik.
“Menemui suamiku, dia menikah lagi di sana,” jawabnya pelan dengan mata menerawang.
Tenggorokanku tercekat. Wanita ini jauh-jauh ke Bali dengan perut besar untuk menemui suaminya? Padahal sudah jelas bahwa suaminya menikah lagi di Pulau Dewata. Ah, cinta seperti apa yang dia jalani dan pertahankan?
“Seperti inilah cinta, tapi Mbak pasti tak salah memilih suami. Semoga.” katanya sambil tersenyum.
:Lagu “RAN” mengalun dengan lembut dari handphoneku. Ada nama Andik di layarnya.
“Assalamualaikum, sudah memegang awan?” tanya suara di seberang.
“Wassalam, kamu bisa aja!” jawabku pelan sambil memandang awan.
“Kau tahu? Aku di sini menunggumu di bandara, melihat awan yang sama denganmu.”
“Tunggulah! Aku akan datang. Mengenalkan diri pada orangtuamu,” bisikku pelan sambil membayangkan wajah Andik di sana, di antara awan-awan itu.
Flash Fiction ini ditulis untuk ikut program Simulasi Kompetisi Menulis