“Kau mau ke mana?” katanya sambil mencekal pergelangan tanganku.
“Tidak ke mana-mana. Aku tetap di sini. Bersamamu!”” kataku.
“Jangan bohongi aku lagi!”
“Mana berani aku membohongimu?” kataku pelan sambil menengadahkan wajah, menatap bintang yang berkelip di langit.
“Nis, tatap mataku! Please ….”
Aku mengalihkan pandangan dari bintang ke wajahnya, pada matanya. Ada kesungguhan di sana, untukku. Sepertinya. Tapi, bisakah aku seyakin itu padanya? Bisakah aku yakin hanya dengan melihat matanya? Dia mungkin sama seperti lelaki lainnya yang hanya menginginkan tubuhku, seperti bapakku.
“Nis, aku serius padamu! Tak peduli bagaimana masa lalumu, tak peduli bagaimana latar belakang keluargamu, aku akan terus mencintaimu. Kau percaya padaku?”
Aku menarik napas panjang. Setengah tak percaya pada apa yang telah dikatakannya. Ya, ucapan yang sama seperti Santo, ayah biologis dari Ninda, anakku. Sayangnya, dia menikah dengan wanita lain, meninggalkanku, dan tak mengakui Ninda sebagai darah dagingnya.
“Nis! Aku tahu bagaimana masa lalu yang telah kau jalani. Diperkosa oleh bapakmu sendiri, dijual ke rumah bordil, sampai ditinggal pergi oleh Santo, kekasihmu.
buy doxycycline canada https://cpff.ca/wp-content/languages/new/canada/doxycycline.html no prescription
Tapi, kau harus tahu, aku tak sama seperti mereka. Aku tulus mencintaimu apa adanya. Sungguh!”
Aku tetap diam sambil menatap matanya. Tangannya perlahan menggenggam jemari tanganku, seolah mengalirkan kekuatan agar aku bisa tegar menghadapi kenyataan hidup.
“Orangtuamu tak akan setuju,” bisikku pelan.
“Yang menikah itu aku, bukan mereka!”
“Kau tahu, aku bukan gadis, bukan pula janda. Tapi punya seorang anak dari lelaki yang tak mau mengakuinya sebagai anak,” kataku mulai parau.
Dia merengkuhku dalam pelukannya, memeluk dengan erat, seolah tak ingin melepaskanku lagi. “Tenanglah, kau tak akan diusir dari kampung karena fitnah itu. Aku akan membelamu sampai titik penghabisan. Kau bukan wanita perusak rumah tangga orang, aku tahu. Kau hanyalah korban. Aku mencintaimu apa adanya.”
“Bunda ….” Suara Ninda mengagetkanku. Dia sudah berdiri di ambang pintu, melihatku tengah dipeluk oleh Fandi.
“Sini, Sayang …. Kok bangun? Mimpi buruk, ya?” kataku seraya mengusap rambut Ninda, anakku yang masih berumur tiga tahun.
“Nis, walau aku tak mampu menghapus segala lukamu, izinkan aku membahagiakan kalian. Tak akan kubiarkan kalian hidup dengan air mata lagi. Aku janji … cintaku akan tetap untukmu, walau seribu tahun lagi,” bisik Fandi pelan di dekat telingaku.
Aku tersenyum dengan wajah merona ketika mendengar janjinya. Akhirnya kuurungkan niat untuk pergi ke Negeri Farmosa.
Flash Fiction ini diikutkan dalam program #FF2in1 dari tiket.
buy singulair canada https://cpff.ca/wp-content/languages/new/canada/singulair.html no prescription
com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis #TemaKedua