(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Anisa AE – Pasti bagi seorang penulis, enak banget nikah dengan seorang editor. Bukan hanya penulis, tapi juga orang umum. Gimana gak enak kalau tiap hari diperhatikan. Bayangkan saja, EYD saja sangat diperhatikan, apalagi pasangannya. Pasti sangat perhatian.
Kenyataannya NOL BESAR.
Kenapa saya bilang begitu? Salah satunya karena saya juga editor. Ya, walaupun editor ecek-ecek di AE Publishing dan beberapa penerbit milik teman. Saya tahu betul bagaimana kesibukan seorang editor. Bahkan tak jarang keluarga tak diperhatikan karena dikejar DL editing yang sangat banyak.
Bagaimana kalau sehari hanya mampu mengedit 20 halaman, padahal novel tersebut ada 150 halaman. Selesai dalam 7 hari. Well, ini pekerjaan mengedit di rumah, bukan di kantor yang pastinya dijadwal sebulan sampai 8 buku harus terbit. Padahal untuk paket penerbitan, 30 hari kerja sudah harus dikirim ke penulis.
Biasanya untuk menyiasati hal ini, begitu naskah masuk ke email, saya langsung melempar ke Tanti Nafita Sari untuk dilayout dan ke Ayu Putri untuk proses desain cover. Setelah layout selesai, saya lempar lagi ke Endang Indri Astuti untuk proses editing. Setelah Endang selesai, baru saya cek ulang secara keseluruhan.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Tiap buku di AEP menggunakan 2 editor, Endang dan saya. Bahkan jika naskahnya sangat parah, saya ambil Dien Ilmi, salah satu owner di lini AEP untuk mengedit juga. Jadi, ada 3 editor untuk satu buku.
Layout buku tidak memakan waktu yang lama, biasanya 3 hari selesai, editing yag lumayan lama, bisa sampai 2 minggu, itu termasuk hari libur. Untuk desain cover, biasanya seminggu, lalu dikirim untuk revisi oleh penulis. Pun editing, setelah semua selesai, dikirim ulang ke penulis untuk dicek halaman berapa yang salah atau kurang. Bayangkan bagaimana repotnya.
Kembali ke editor.
Kebanyakan editor itu kalau sudah ada di depan laptop atau komputer harus fokus, gak bisa perhatikan sekelilingnya. Tidak hanya itu, jika BT dan pingin membunuh penulis gara-gara naskah yang ancur, bisanya cuma main COC biar lega. Setelah itu balik ke naskah.
Keluarga? Jangan ditanya. Diperhatikan kalau editing udah kelar, atau pas libur kerja. Suami saya sampai protes ketika BBM atau WA tidak dibalas. Tapi tahu sih jam berapa saja saya kerja. Kalau pas gak ada editan, pasti marah. Tapi kalau ada editan, ya dimaklumi saja. Itulah dukanya menikah dengan editor. 😀
Jadi, siapa bilang editor perhatian banget? -,-
Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, dan G+, ya? Kalo info ini bermanfaat buat kamu. Nanti akan langsung saya follback buat yang komentar langsung. Bisa juga follow twitter @anis_sa_ae dan FP Anisa AE biar dapat update info tiap hari ^^v
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
18 Comments. Leave new
Hehehe
Untung saja bukan saya suaminya. 🙂
Bisa demo tiap hari.!
Xixixi. Untungnya 😀
Tapi… masih ada waktu buat berduaan kan kan kan? *pertanyaan iseng
Kalo itu mah wajib. 😀
Emang gak berminat sih akunya hahaha..
Wkwkwkw
Kalau aku jadi suami editor itu, aku edit duluan editor itu, ha…
http://www.sesuatu.my.id
Wkwkwkwk. Sip.
Wih jadi merinding. Kalo nikah sama editor, rayuan juga dieditin gak ya? 😀
Xixixixi. Mungkin juga 😀
wekeke, aku nikahnya sm blogger. Tiap hari adanya berdua ngeblog. Kalo udh megang laptop masing2 pada lupa pasangannya 😀
Xixixi. Iya gitu deh. 😀
Berarti sm kyk nikah dgn programer ya. Katanya titik koma aja diperhatiin nyatanya klo lg kerja juga lupa daratan 😀
Hehehe. Ya, gitu deh. Hampir sama 🙂
Diperhatiin editor kan sesuatu banget ya, Mbak. Tulisan bisa jadi makin keren. tapi kalau tulisan ancur, mungkin Mbak Anisa gemes jadinya hehe.
Biasanya yang suka gemes editorku kalau lihat naskah ancur. 😀
Kalau saya paling PASRAH aja Mba..hahahahaha..nasib..nasib.
Hahahahaha …. ditemani secangkir kopi