Oleh Anisa Ae
Aku turun dari kereta api di Stasiun Kepanjen. Hawa Kota Malang tak berubah, tetap dingin. Kota tempatku dilahirkan, terukir sejuta kenangan yang tak dapat aku lupakan. Angin sepoi mempermainkan bawah jilbabku, aku tersenyum lalu menarik nafas panjang. Ah … tetap seperti dulu. Segera aku berjalan menuju rumah, aku merindukan Ibu.
“Wa’alaikumsalam.” Ibu tersenyum
padaku.
padaku.
“Bu, aku mau ke luar dulu,” ujarku pada Ibu ketika melihat beliau masih sibuk memotong rambut pelanggannya. Aku tak ingin Ibu menghentikan pekerjaannya karena kedatanganku, bukankah pelanggan adalah raja? Aku takut pelanggannya kecewa.
“Kamu kan baru datang, kenapa gak
istirahat dulu?”
istirahat dulu?”
“Cuma sebentar kok, Bu. Ada buku Asma Nadia yang baru terbit, aku mau beli! Sekalian jalan-jalan, udah lama gak
pulang kampung!” kataku.
pulang kampung!” kataku.
“Yaudah hati-hati,” kata Ibu memberi ijin. Kota ini, kota yang tak pernah kukunjungi selama 3 tahun. Sejak aku lulus SMA, aku tak pernah datang ke kota ini lagi. Ibu yang selalu mendatangiku di pesantren, tempatku menuntut ilmu. Aku bergegas menuju Gramedia yang cukup jauh dari rumahku. Gramedia adalah toko yang pertama kali kucari jika berada di suatu kota. Selain untuk membeli buku, aku juga mengecek penjualan buku karanganku yang juga berada di Gramedia seluruh Indonesia.
“Lisa? Benarkah kau Lisa?” tanya seseorang padaku ketika aku sedang asik memilih buku. Aku mengalihkan perhatian dari buku yang berjejer di depanku padanya. Laki-laki itu …. Dia orang yang pernah mencuri hatiku selama 3 tahun, mengatakan cintanya padaku sehari sebelum kelulusan, mengatakan bahwa aku adalah belahan hatinya, pujaannya. Tapi, dia juga yang membuat hatiku mati.
Ah …. Ingatanku langsung melayang pada kejadian setelah kami mendapatkan hasil ujian kelulusan SMA yang telah kami
tunggu. Di halaman belakang sekolah, di antara daun-daun kamboja yang luruh satu persatu. Mati seperti hatiku.
tunggu. Di halaman belakang sekolah, di antara daun-daun kamboja yang luruh satu persatu. Mati seperti hatiku.
***
Aku mencari sosoknya untuk berbagi kabar bahagiaku. Aku lulus, aku yakin dia juga. Tapi, kenapa dia tak mencariku? Bukankah kami berjanji akan merayakan kelulusan bersama? Aku kecewa dengan sikapnya, tapi apa boleh buat, mungkin dia lupa. Tiba-tiba handphoneku berdering, terlihat nama Ibu di dalam layar. Ketika panggilan itu kujawab, kudengar isak tangis bu dari seberang.
“Ibu? Ada apa?”
“Bagaimana hasil ujianmu? Apa kamu lulus?” tanya Ibu.
“Alhamdulillah.”
“Cepat pulang, ya? Ayahmu mengalami kecelakaan. Ibu tunggu di UGD Rumah Sakit Saiful Anwar,” ucap Ibu cepat. Air mataku jatuh seketika, terdengar Ibu juga tak bisa menahan tangisnya. Segera kumatikan handphone dan kuusap air mata. Aku langsung berlari menyusuri koridor kelas mencari Anto, kekasihku. Dia pasti bisa mengantarku ke rumah sakit dengan cepat. Tiba-tiba aku melihatnya di halaman belakang sekolah bersama Anisa, sahabatku. Kuhampiri mereka segera tapi langsung kuhentikan langkahku ketika tanpa sengaja, kudengar pembicaraan mereka.
“Maukah kamu jadi pacarku? Udah lama aku naksir kamu!” kata Anisa tanpa basa-basi setelah mereka duduk
berdua. Dia tertegun. Aku tahu, dia pasti tak akan menyangka akan ditembak oleh Anisa, putri tunggal dari pemilik perusahaan
tekstil. Anisa juga pemenang Putri Sekolah selama 3 tahun berturut-turut.
berdua. Dia tertegun. Aku tahu, dia pasti tak akan menyangka akan ditembak oleh Anisa, putri tunggal dari pemilik perusahaan
tekstil. Anisa juga pemenang Putri Sekolah selama 3 tahun berturut-turut.
“Tenang aja. Kamu gak usah mikir biaya kuliah. Semua kutanggung selama kamu jadi pacarku. Termasuk segala
kebutuhannya,” lanjut Anisa mantap padanya. Dia tersenyum sambil membetulkan
kacamata minusnya. Apa dia akan menerimanya? Hatiku takut, aku takut kehilangan
di saat membutuhkannya. Aku sama sekali tak selevel dengan Anisa walaupun
dia sahabatku. Wajahnya tiba-tiba sendu. Tak ada lagi senyum di bibirnya.
kebutuhannya,” lanjut Anisa mantap padanya. Dia tersenyum sambil membetulkan
kacamata minusnya. Apa dia akan menerimanya? Hatiku takut, aku takut kehilangan
di saat membutuhkannya. Aku sama sekali tak selevel dengan Anisa walaupun
dia sahabatku. Wajahnya tiba-tiba sendu. Tak ada lagi senyum di bibirnya.
Tolong katakan bahwa kau telah menjadi milikku. Katakan bahwa kau tak bisa menerimanya. Kau tak mungkin melukai hatiku. Kita baru jadian kemarin dan kau yang menyatakannya padaku. Bukankah baru kemarin kau katakan bahwa kau akan menjaga hatiku? Jangan hancurkan hatiku.
“Maaf, aku tak bisa,” katanya pelan pada Anisa. Aku tersenyum.
Terima kasih. Aku memang tak salah memilih penjaga hati. Kau memang orang yang tepat. Aku berharap tak hanya kali ini tapi untuk selamanya kau akan terus menjagaku. Menjaga cinta dan kasih sayang kita. Seperti janjimu.
“Aku harus kerja membantu biaya sekolah adik-adikku. Tak mungkin aku kuliah sementara mereka terancam putus sekolah,” katanya menjelaskan pada Anisa dengan pandangan menerawang.
“Tenang aja. Kamu bisa kerja di perusahaan papa. Pasti masuk deh. Mau kan?” tawar Anisa padanya. Wajahnya cerah dan matanya bercahaya. Apa yang akan dia katakan lagi? Kenapa seperti ini? Hatiku cemas, aku tak ingin dia menerima Anisa. Hatiku langsung mati ketika kulihat anggukan mantap dari kepalanya. Ah …. Ternyata aku salah menilainya.
“Hore! Akhirnya aku punya pacar!” teriak Anisa lalu memeluknya. Tiba-tiba Anisa mengetahui kehadiranku, dia acungkan sebuah jempol untukku dari balik punggung kekasihku. Tangisku tak dapat dibendung lagi, aku berlari meninggalkan mereka berdua, membawa sejuta
rasa sakitku. Kini tujuanku hanya satu, menemani Ibu di rumah sakit.
rasa sakitku. Kini tujuanku hanya satu, menemani Ibu di rumah sakit.
***
“Kamu Lisa, ya?” tanyanya padaku untuk kedua kalinya. Membuyarkan segala ingatanku 3 tahun yang lalu.
“Maaf, mungkin anda salah mengenali orang,” kataku berbohong sambil tersenyum. Dia terdiam, memandangku lekat-lekat seolah memastikan kebenaran dalam ucapanku. Aku berusaha setenang mungkin menghadapinya, kuberikan senyum tipisku untuknya, mencoba membenarkan ucapanku.
Ya
Allah, aku ingin dia segera pergi dari hadapanku. Jika dia memang bukan yang
terbaik untukku, jauhkan dia dari kehidupanku. Berikan aku pengganti yang lebih
baik dari dia, yang mampu membimbingku menuju ridho-Mu.
Allah, aku ingin dia segera pergi dari hadapanku. Jika dia memang bukan yang
terbaik untukku, jauhkan dia dari kehidupanku. Berikan aku pengganti yang lebih
baik dari dia, yang mampu membimbingku menuju ridho-Mu.
“Wah, maaf. Habis kalian mirip, hanya kamu lebih anggun,” katanya sambil membetulkan kacamata minusnya, lalu pergi meninggalkanku yang termenung sendirian.
Ah … seandainya kau tahu betapa sakitnya hatiku. Seandainya kau tahu bahwa kau adalah cinta pertama dan
terakhirku. Bahkan sampai kini, aku tak bisa melupakanmu. Seandainya kau tahu kalau aku adalah Lisa-mu. Apa yang akan kau lakukan?
terakhirku. Bahkan sampai kini, aku tak bisa melupakanmu. Seandainya kau tahu kalau aku adalah Lisa-mu. Apa yang akan kau lakukan?
Ah, sudahlah. Toh semua cuma masa lalu yang harus kukubur dalam-dalam di hatiku. Walau sebenarnya aku tak bisa melupakannya selama 3 tahun ini. Aku harus bisa hidup tanpa bayang cintanya. Aku harus bisa!
“Lisa!” sebuah suara yang tak asing memanggil namaku. Aku menoleh. Ya, benar-benar suara yang
tak asing. Anisa, dia tak jauh berbeda dengan yang dulu. Berambut hitam lurus dan panjang sepinggang. Rambut itu selalu dibiarkan tergerai dengan indahnya. Beberapa jepit menghiasi rambutnya. Kulitnya tetap seputih pualam yang selalu bercahaya. Bibir mungil, hidung mancung, alis seperti bulan sabit, bulu mata yang…. Ah, dia wanita sempurna, paling sempurna. Maklum, gadis blesteran Arab dan Jepang.
tak asing. Anisa, dia tak jauh berbeda dengan yang dulu. Berambut hitam lurus dan panjang sepinggang. Rambut itu selalu dibiarkan tergerai dengan indahnya. Beberapa jepit menghiasi rambutnya. Kulitnya tetap seputih pualam yang selalu bercahaya. Bibir mungil, hidung mancung, alis seperti bulan sabit, bulu mata yang…. Ah, dia wanita sempurna, paling sempurna. Maklum, gadis blesteran Arab dan Jepang.
“Aku pamit dulu. Buku yang kucari sudah kutemukan. Lain kali kita ketemu lagi ya?” ucapku berpamitan padanya.
“Kamu mau kemana sih? Padahal kita baru ketemu,” katanya tak rela melepas kepergianku.
“Aku mau jemput Ibu di pasar. Beliau kerja di sana. Kapan-kapan aku mampir ke rumahmu kok.
Assalamualaikum,” jawabku bohong sambil mencium 2 pipinya.
Assalamualaikum,” jawabku bohong sambil mencium 2 pipinya.
“Wassalam,” jawabnya. Aku pergi dari hadapannya sambil membawa buku “Sakinah Bersamamu” karya Asma Nadia ke kasir. Setelah membayar
buku itu, aku menoleh padanya lalu melambaikan tangan.
buku itu, aku menoleh padanya lalu melambaikan tangan.
“Hati-hati!” teriaknya padaku sambil melambaikan tangan juga sampai aku menuju eskalator dan hilang dari pandangan matanya. Sejujurnya aku tak ingin bertemu mereka hari ini dan membuka luka hatiku. Ah, aku benci kenangan itu.
*cerpen ini ada di dalam buku “25Bingkisan Rasa” terbitan AG Publishing. Bisa Anda dapatkan langsung ke penerbit AGP atau membeli ke saya dengan harga khusus. 😉