Dari kemarin cerita tentang jalan-jalan aja sih, beli oleh-olehnya kapan? Hotelnya di mana? Hihihi maafkan. Karena fokus sama perjalanan, jadinya lupa cerita tentang tempat untuk beli oleh-oleh maupun beli yang lainnya. Yuk, pantau terus kisah perjalanan umroh ini!
Menginap di Hotel Rawdat Al-Safwa
Selama tujuh hari, enam malam, saya menginap di Hotel Rawdat Al-Safwa, Madinah. Jaraknya sekitar 250 meter dari Masjid Nabawi. Terus, dari halaman depan Masjid Nabawi sampai ke tempat sholat wanita juga 250 meter. Dari sinilah kisah perjalanan umroh ini dimulai.
Kamar di Hotel Rawdat Al-Safwa yang saya tempati ini punya empat tempat tidur, tapi isinya lima orang. Di hotel ini ada air panasnya, wastafel, handuk 2. Kasurnya cukup empuk, ya walaupun nyatanya kami cuma tidur berempat karena salah satu teman sekamar, Mbak Suli, juragan bakpao di Kediri, menjaga ayah mertuanya di kamar lain. Jadi, kamar itu cuma jadi tempat nitip koper, makan, dan mandi aja.
Beli Oleh-Oleh Murah
Buat yang mau beli oleh-oleh buat keluarga, bisa ke Masjid Bilal. Masjid ini berada di depan Masjid Nabawi, dekat dengan hotel juga. Jadi, jika ada masjid dengan kubah hijau di depan Masjid Nabawi, itu Masjid Bilal. Di sana seperti pasar gitu. Banyak orang jualan. Untuk oleh-oleh seperti gelang atau yang lainnya mulai dari dua riyal atau setara dengan delapan ribu. Kalau ditawar lagi juga bisa kok. Sayangnya saya gak sempat foto lokasinya, cuma foto di depan Masjid Bilal yang banyak burungnya.
Baca juga : Kisah Perjalanan Umroh 14 Hari – Part 2 – Tertipu 20 Juta
Berangkat ke Mekkah
Hari ketujuh, saya berangkat ke Mekkah. Laki-laki langsung memakai baju ihram saat berangkat, sementara yang wanita memakai baju biasa. Pas sholat Zuhur, busnya udah datang ke hotel. Setelah makan siang, semuanya langsung naik ke bus untuk langsung menuju Mekkah.
Sebelum sampai ke Mekkah, kami semua ke Bir Ali, wudu dan sholat sunnah sambil niat buat umroh. Orangnya sangat banyak, tumplek blek, sampai beberapa orang tua ketinggalan. Untung aja cepat ketemu dan kami langsung berangkat ke Mekkah. Ustaz Hasan membimbing semua jamaah selama dalam perjalanan dengan niat umroh.
Perjalanan dari Bir Ali sampai ke rest area memakan waktu 4 jam. Di rest area berhenti sekitar satu jam, lalu berangkat lagi. Buat yang suka pop mie, bisa beli di sini seharga 10 real. Sekitar 50k deh uang Indonesia. Padahal di Indonesia paling mahal 10k. Untuk martabak jug ada, tapi rasanya beda dengan di Indonesia, lebih enak di Indonesia. Perjalanan total 7 jam hingga sampai Mekkah.
Sesampainya di Mekkah, kami menempati villa yang ada di Mekkah Hotel and Towers. Sangat dekat dengan Masjidil Haram. Saat turun ke lobi, hanya sekitar lima puluh meter sudah ada di halaman masjid. Kalau sebelumnya di Madinah, perjalanan 15 menit sampai di tempat sholat. Berbeda dengan di Mekkah, lima menit saja sudah sampai. Sholat pun bisa di halaman masjid.
Pengalaman Saat Towaf dan Sa’i
Sekitar jam satu dini hari waktu Mekkah, saya dan rombongan melakukan towaf. Tentu kami sholat Isya yang dijamak dengan Maghrib terlebih dahulu. Setelah sholat langsung cus ke Ka’bah. Ngantuk? Banget. Capek juga. Namun, tetep semangat pas lihat Ka’bah. Allahuakbar. Akhirnya saya bisa melihat Ka’bah secara langsung walau belum menyentuh karena menunggu semua rukun umroh dilakukan.
Setelah towaf, saya sholat sunnah dia rokaat, lalu mendoakan anak-anak agar menjadi salihah, berdoa semua dosa saya diampuni, suami bisa semakin pengertian, mendoakan semua teman-teman, keluarga, dan sahabat yang menitipkan doa saat di depan Ka’bah.
Saat sa’i dari Bukit Sofa ke Bukit Marwah, saya melakukan sampai 9x lho. Awalnya di perjalanan pertama dan kedua, semangat. Eh perjalanan ketiga dan keempat mulai biasa saja. Lima sampai tujuh mulai lelah. Rasanya seperti mengambang dan gak kuat jalan lagi. Mungkin ini efek kelelahan. Memang rasanya sangat berat walaupun di tempat itu udaranya dingin.
Perjalanan ketujuh dan sudah selesai, tiba-tiba saja ada habib tua yang lewat. Masih satu rombongan dengan saya. Habib itu jalan terus tanpa berhenti.
buy cipro online https://clinicaorthodontics.com/wp-content/themes/twentytwentytwo/inc/patterns/new/cipro.html no prescription
Karena takut orangnya kesasar, saya dan Mbak Suli dari Pagak pun menyusul. Ditambah satu orang tua, satu bapak-bapak, dan tiga ibu-ibu sepuh. Total ada delapan orang yang akhirnya melakukan sa’i sampai 9 perjalanan yang seharusnya tujuh.
Alhamdulillah akhirnya sampai di pintu keluar dan kami semua tahalul. Lalu langsung balik ke hotel setelah minum air zamzam. Oh iya, untuk ibu karena sudah tua dan saat itu kesehatan kurang baik, maka saya memanggil bantuan dorong kursi roda. Untuk biaya membayar 1,5 juta. Sebenarnya pingin nyobain scooter yang ada di Masjidil Haram, tapi kan gak bisa dimulai dari hotel. Bisanya pas sudah di dalam masjid.
Sholat di Tempat Parkir
Saya mengalami yang namanya sholat di tempat parkir hotel di hari pertama. Saat itu adalah sholat Isya, saya dan Ibu berangkat saat di Masjidil Haram sudah azan. Biasanya nih kan di Madinah, setelah azan masih menunggu lima belas menit sebelum akhirnya sholat berjamaah. Namun, di sini berbeda.
Saat sampai di pintu keluar biasanya, pintu sudah digembok. Petugas yang menjaga pintu sudah menggelar sajadahnya di samping pintu. Saya dan Ibu langsung kaget dong, mau naik lagi ke atas atau mencari jalan memutar, jelas jauh dan tidak bisa mengikuti sholat berjamaah. Mau tidak mau, akhirnya kami sholat di dekat penjaga. Di pintu masuk persis. Ya Allah, inilah pertama kalinya saya sholat di tempat parkir.
Baca juga: Kisah Perjalanan Umroh 14 Hari – Part 1 – Ke Mana Saja dan Barang Apa yang Dibawa
Kehilangan Ponsel di Hari Kedua
Siangnya langsung istirahat walau hanya beberapa jam. Setelah sholat Zuhur, disempatin buat ambil foto di tempat sekitar, itu dilakukan sampai waktunya sholat Ashar. Sholat Ashar di masjid, lalu balik ke villa. Di villa istirahat lagi sampai malam. Ya, kalau pas waktunya sholat, tetep ke Masjidil Haram, kan deket.
Malamnya, saya gak bisa tidur, akhirnya tidur di luar villa. Eh ndilalah pas dibangunin buat pindah ke kamar, kok ponsel saya ketinggalan di luar. Saya baru sadar saat bangun keesokan harinya, ponsel sudah tidak ada.
Kaget dong waktu itu karena ponsel itu mempunyai data-data penting dan juga alat untuk kerja. Belum lagi kontak-kontak di dalamnya, ditambah dengan mobile banking yang bisa digunakan karena ponsel tidak saya pasword. Alhamdulillah ditemukan pegawai di villa dan meminta untuk mengambil ponsel di service room. Banyak grup dan juga ustad yang diberi pesan oleh ponsel saya. Mengatakan bahwa ponsel ditemukan.
Padahal sempat gemetar pas ponsel hilang. Tahu sendiri gimana kalau ada ponsel hilang di Indonesia. Nasibnya langsung menjadi hak milik yang menemukan. Kartu sim juga dibuang. Bahkan bisa jadi malah diprogram ulang. Fiuh. Sampai siang, saya gak bisa makan jika belum memegang ponselnya. Pas ponsel udah ada di tangan, langsung deh plong.
Bakti Anak Kepada Orang Tua
Mungkin karena kepikiran, hari kedua langsung haid. MasyaAllah. Semoga haidnya cepat dan bisa ke Mekkah di hari-hari terakhir. Belum sempat foto sama Ka’bah. Kayaknya tahun depan perlu ke sini lagi deh, langsung ikut haji plus yang tanpa antri. Aamiin.
Hari kedua ke mana aja? Sibuk belanja. Jadi ceritanya, teman sekamar yang namanya Mbak Suli itu umroh sama ayah mertuanya yang sudah tua. Ayah mertua itu sakit-sakitan pas sampai Madinah sampai ke Mekkah. Orangnya linglung dan suka menghilang. Maklum aja, orang tua yang umurnya udah di atas 80 tahun. Bahkan nih sekarang masih tidur saja sambil menggunakan popok sekali pakai.
Karena kondisi ayah mertua yang seperti itu, akhirnya kamarnya dipindah yang agak jauh dari masjid dan yang aksesnya agak sulit. Khawatir jika tiba-tiba saja Pak Wek itu hilang jika bangun dari tidurnya tanpa diketahui sang menantu. Selama beberapa hari di Madinah, Mbak Suli juga jarang tidur, bahkan selain hari pertama, tidak pernah mengunjungi Masjid Nabawi. Sekarang saat sudah umroh dan mengunjungi Ka’bah bersama saya, tidak mengunjungi Masjidil Haram lagi.
Namun, saat menjaga Pak Wek di sini, tiba-tiba saja Mbak Sul dapat kabar kalau ayah kandungnya saat ini malah berada di rumah sakit. Penyakit jantungnya kumat. Ya Allah. Langsung lemes dia. Pas saya datang ke sana, Mbak Sul langsung memeluk saya sambil nangis. Kebayang banget gimana rasanya dia merawat mertua di sini, tapi tidak bisa merawat ayah kandungnya yang tengah opname.
Walaupun bukan ayah kandung, tapi Mbak Sul memperlakukan ayah mertuanya dengan baik. Subhanallah. Kami semua di sini menguatkan dia agar semangat menjaga Pak Wek. Semua yang dia lakukan adalah wujud bakti kepada orang tua. InsyaAllah surga adalah balasan yang Allah berikan nanti.
Oh iya, hari kedua di Mekkah ini adalah hari kesembilan saya menjalani umroh 14 hari. Artinya masih tersisa lima hari lagi berada di Mekkah. Semoga saja di hari terakhir, saya masih bisa melaksanakan towaf wada’ bersama yang lain. Semoga haid sudah selesai. Rasanya sedih banget gak bisa ikut towaf.
Kisah Tentang Burung Dara dan Nabi Muhammad
Di sekitar Masjidil Haram banyak sekali burung dara yang berkeliaran dengan bebas. Tidak ada orang yang mengusik mereka, bahkan malah memberi makan. Burung-burung tidak takut dengan kedatangan manusia. Mereka mendekat seperti teman. Beda sih kalau di Indonesia, bisa-bisa burungnya diburu buat digoreng. Hehehe.
Di villa tempat saya menginap, burung-burung juga terbang bebas di dalam halamannya. Bahkan nih tiap pagi ada petugas yang memang bertugas untuk membersihkan kotoran burung dengan cara mengepelnya. Bahkan hampir di semua sudut ada saja kotoran burung.
Kenapa burung bisa hidup dengan bebas di Arab?
buy clomiphene online https://clinicaorthodontics.com/wp-content/themes/twentytwentytwo/inc/patterns/new/clomiphene.html no prescription
Saya diceritakan oleh Ustad Wasik, jika dulu Nabi Muhammad SAW saat hijrah dari Mekkah ke Madinah, bersembunyi di Gua Tsur. Setelah masuk ke dalam gua, laba-laba dan burung merpati langsung membangun sarang mereka di pintu gua untuk menutupi keberadaan Nabi Muhammad bersama dengan sahabat Abu Bakar.
Hal itulah yang membuat burung dara disayangi oleh masyarakat Mekkah dan Madinah. Memang burung dara ini seperti menjadi ikon tersendiri di Kota Mekkah dan Kota Madinah. Rasanya belum lengkap jika tidak berfoto di antara burung-burung tersebut. Saya hanya satu kali berfoto dengan burung di Madinah, di Mekkah belum. Ya, karena tidak ada yang bisa memfoto dengan bagus. Hehehe. Masih di part 3 nih, baca kisah perjalanan umroh selanjutnya di part 4 yaaa.
2 Comments. Leave new
Masya Allah .. Mbak Nisa berangkat umroh bareng Ibu … Ibu pasti bahagia dan bangga ya ….
Salut juga sama Mbak Suli yang menjaga ayah mertuanya. Masya Allah … kalian luar biasa, ke tanah suci dengan orang tua.
Kisah yang sangat seru dan banyak sekali pelajaran yang bisa diambil