(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Sumber Maron Kasri |
Anisa AE – “Hai Mbak Reporter! Sudah puaskah Anda menjadi seorang pembunuh? Apakah saya akan menjadi korban Anda kali ini?” tanyanya pada saya.
Saya tertohok. Benarkah saya adalah seorang pembunuh? Padahal apa yang saya tulis sebagai blogger/reporter adalah realita. Mempromosikan suatu tempat wisata baru yang alami dengan narsis di sana agar semakin ramai. Misalnya saja Sumber Maron, salah satu sumber di Kecamatan Pagelaran yang saat ini menjadi tempat wisata edukasi.
Tiba-tiba mata saya berkaca-kaca. Ya, saya adalah seorang pembunuh. Dengan pekerjaan yang saat ini menjadi reporter dan sering mengulas tempat wisata, saya sering kali mempromosikan suatu tempat dengan sangat bagus. Saking terlalu fokus pada promosi, saya sampai lupa ada sesuatu yang perlu dijaga.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Alam, ya, alamlah yang menanyakan hal itu pada saya kemarin, di Sumber Joyo/Sumber Sirah, salah satu surga di dalam air. Banyak ganggang dan lumut di sana yang bisa digunakan untuk berfoto, seolah berada di laut dalam. Padahal dalamnya tak lebih dari 1,5 meter.
Sebenarnya saya sudah tahu tempat itu sejak lama, namun baru mengunjungi kemarin. Apalagi setelah dari Sumber Sirah, saya menuju ke Sumber Buntun di wilayah Urek-Urek (Gondanglegi) dan Sumber Maron di wilayah Kasri (Bululawang). Ya, mungkin karena orang-orang seperti saya pula tempat ini mulai terbengkalai. Belum lagi Sumber Taman di Pagelaran yang saat ini pengunjungnya bisa dihitung dengan jari.
Sumber Buntung, Urek-Urek |
Malang memang penuh dengan kejutan, apalagi dengan banyaknya sumber-sumber yang mulai diekspos oleh media, namun kurang perhatian penduduk dan pemerintah. Jadi, setelah tempat itu kotor dan tidak layak, semua pengunjung pergi dan tak ada tindakan lebih lanjut untuk memperbaharuinya seperti di Sumber Maron Kasri dan Sumber Buntung.
Seharusnya tiap ada tulisan dan ulasan, selalu ada tindakan lebih lanjut untuk mengantisipasi kerusakan alam. Misalnya saja seperti di Pantai Tiga Warna yang pendatangnya dibatasi. Petugas mendata barang apa saja yang dibawa oleh pengunjung dan jika kembali, pengunjung harus membawa barang yang sama.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Memang bukan 100% salah seorang reporter, tapi di sinilah dilemanya. Ketika ingin mempromosikan suatu tempat agar bisa dinikmati oleh orang lain, tak disangka ternyata banyak orang tidak mengerti alam dan kebersihannya. Jadinya, alam semakin tercemari, keindahan hilang, lalu para pengunjung pun bubar.
Apa yang terjadi sekarang? Sumber Maron di Pagelaran menjadi tempat wisata edukasi yang mulai tercemari. 🙁 Sayalah salah satu pembunuhnya. Bagaimana cara meminimalkan hal ini? Jangan lupa tambahkan pesan-pesan kepada para calon pengunjung agar menjaga alam. Tinggalkan jejak saja, bawa pulang kembali sampah dan barang bawaan Anda.
Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, dan G+, ya? Kalo info ini bermanfaat buat kamu. Nanti akan langsung saya follback buat yang komentar langsung. Bisa juga follow twitter @anis_sa_ae dan FP Anisa AE biar dapat update info tiap hari ^^v
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
32 Comments. Leave new
Berbicara reporter adalah pembunuh, jadi teringat drama korea pinochio,, hanya gara2 lisan sang reporter yang mementingkan diri sendiri sampai membuat sebuah keluarga hancur . .
Iya banget. Aku sampe nangis pas liat drama korea itu.
trus yok opo? leren a meliput objek-objek wisata di blog ? 😀
Wkwkwk. Pilih sing terkenal waelahhh.
lalu sebaiknya bagaimana?
Harus ada banyak dukungan dan kerjasama dari pemerintah, wisatawan, maupun media. Mungkin perlu diterapkan seperti yang di pantai tiga warna untuk tiap tempat wisata alam.
dunia media memang butuh banyak orang baik ya mbak, yang ga cuma bisa nge-liput tapi juga bisa memberi dampak positif
Iya, semua memang memerlukan dukungan semua pihak.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun, bisa dipastikan jumlah wisatawan akan semakin banyak. Imbasnya, suatu obyek wisata bakal semakin ramai dari tahun ke tahun.
Sejatinya, manusia hidup saja itu sudah "merusak" alam kok mbak. Manusia hidup dengan mengkonsumsi hal-hal yang diambil dari alam. Tapi apakah jumlah yang diambil manusia dari alam sudah sebanding dengan apa yang diberikan manusia kepada alam? Saya kira tidak.
Kalau mencermati obyek wisata yang jadi rusak karena pengunjung ya memang seperti itulah hukum alam yang berlaku. Rusak ya rusak, tapi alam punya mekanismenya sendiri untuk beregenerasi. Hanya saja sekarang gimana caranya biar laju kerusakan obyek wisata tidak mengalahkan laju regenerasinya. Betul begitu kan mbak?
Kalau sudah tahu sumber permasalahannya sih gampang saja menurut saya. Yang bikin rusak kan pengunjung, jadi kalau mau obyek wisata diregenerasi ya pengunjungnya dibatasi atau di-stop, tidak boleh ada seorang manusia pun yang hadir di sana. Pemerintah bisa mengambil peran dengan membuat kebijakan tegas terkait tata kelola pengunjung di suatu obyek wisata.
Sedangkan bagi para pewarta/reporter, ya tetap jalankan profesi dengan mengbarkan lokasi-lokasi wisata. Hanya saja mungkin perlu melirik lokasi-lokasi wisata yang jarang dijamah wisatawan yang letaknya di luar Jawa (karena wisatawan di Jawa paling banyak). Siapa tahu dengan begitu wisatawan yang numpuk di satu obyek wisata jadi menyebar ke seluruh penjuru Indonesia.
Manusia diberi akal dan pikiran juga untuk menjaga, bukan hanya untuk merusak. Allah tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya.
Jika kerusakan parah dan terjadi banjir karena hutan gundul (misalnya), lantas siapa yang akan disalahkan? Pemerintah lagi?
Setidaknya tiap reporter walau mengekspos tempat wisata, harus tetap memberi 'warning' pada calon wisatawan.
Untuk luar Jawa idenya bagus, perlu diajukan ke pemerintah yang di sana sepertinya.
Mbak, aku hampir terjebak dengan judul Tibakno hehehehe
Hehehe
Harus banyak kasih pencerahan pada wisatawan lokal terutama, tapi pengelola juga punya kewajiban mengawasi lokasi wisata sih, nggak hanya terima pemasukan, hmm…
Saling bergandengan tangan antar pihak Mbak 🙂
harusnya semua objek wisata di negri kita diperlakukan kayak pantai 3 warna ya mbak. Kan kalo gitu, alam kita jadi lebih lestari, terlebih cagar alam :DD
Semoga seperti itu 🙂 Sempu sudah gak boleh dikunjungi kok
Betul tu bang. Mestinya memang kita selipkan pesan-pesan buat menjaga lingkungan di dalam reportase kita. Kalau bisa dikasih urban legend juga biar wisatawan takut terjadi sesuatu kalau ngotori :v
Bang??? Wkwkwk. Boleh deh suka-suka kamu :v
Kayanya banyak urband legendnya. Sip, perlu aku coba deh buat artikel wisata selanjutnya. Makasih sarannya.
Kayanya memang perlu untuk memberi tulisan tambahan untuk mengingatkan para pembaca agar terus menjaga alam, khususnya untuk blogger yang membahas soal tempat wisata. Masalahnya memang mereka-mereka yang ngakunya traveler itu seringkali justru merusak tempat yang mereka kunjungi
Semoga tidak semua. Semoga dengan tulisan ini, banyak yang mulai menambahkan tulisan pada pembaca untuk menjaga alam. 🙂
Iya tuh bener. Sampah harus dijaga
Sampah dibuang ke tempatnya, Mbak. Hehehee
Memang pedang bermata dua. Mungkin harus kita lihat dulu baik buruknya bila post di blog..
Semua baik, insyaAllah, asal ada sisi positif dan anjuran yang diberikan kepada calon pengunjung.
Terimakasih atas perhatian Saudara terkait dengan kelestarian Alam. Yang pasti kami Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Malang selaku pengemban tugas untuk pembangunan pariwisata, selalu menekankan pada pengelola Daya Tarik Wisata (DTW) / Destinasi Pariwisata untuk selalu melakukan implementasi Sapta Pesona dengan 7 unsur yang harus diterapkan. Yaitu : Aman, Tertib, Bersih, Indah, Sejuk, Ramah Tamah dan Kenang2an. Dari ke 7 unsur tersebut, apabila dilaksanakan dengan baik tentunya meski ada kunjungan wisata, kelestarian alam akan terjaga. Implementasi 7 unsur Sapta Pesona selalu kami sampaikan pada pengelola DTW/Destinasi Pariwisata baik secara formal maupun informal. Sekarang kembali juga pada masing-masing individu akan kepedulian nya masing-masing. Dan untuk para blogger, reporter maupun yang lain juga dapat memberikan informasi akan Sapta Pesona tadi. Untuk lebih jelasnya dapat langsung datang ke Kantor kami Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Malang (JL. Raya Singosari no. 275 Singosari – Malang). Demikian, kami ucapkan Terimakasih
Terima kasih atas tanggapan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Malang serta welcome pada tiap kritik dan saran. Mungkin dinas pariwisata bisa menjelaskan 7 unsur tersebut dengan mengundang para blogger, wartawan, maupun lainnya dengan mengadakan gathering singkat. Pasti banyak yang peduli dengan alam, tidak hanya mengeksposnya. 🙂
Semoga dinas pariwisata daerah lain juga memberi tanggapan yang sama.
ya nggak salah reporter juga sih. di luar negeri tempat wisata yang ramai tetap terawat juga kok. Tergantung masing-masing individu aja sih 🙂 kalau dasarnya nggak suka ngerusak, ya bakal tetep awet. entah deh kalau di indonesia 🙂
Anda kurang fokus.
Perlu saya copaskan :
Malang memang penuh dengan kejutan, apalagi dengan banyaknya sumber-sumber yang mulai diekspos oleh media, namun kurang perhatian penduduk dan pemerintah. Jadi, setelah tempat itu kotor dan tidak layak, semua pengunjung pergi dan tak ada tindakan lebih lanjut untuk memperbaharuinya seperti di Sumber Maron Kasri dan Sumber Buntung.
Seharusnya tiap ada tulisan dan ulasan, selalu ada tindakan lebih lanjut untuk mengantisipasi kerusakan alam. Misalnya saja seperti di Pantai Tiga Warna yang pendatangnya dibatasi. Petugas mendata barang apa saja yang dibawa oleh pengunjung dan jika kembali, pengunjung harus membawa barang yang sama.
Memang bukan 100% salah seorang reporter, tapi di sinilah dilemanya. Ketika ingin mempromosikan suatu tempat agar bisa dinikmati oleh orang lain, tak disangka ternyata banyak orang tidak mengerti alam dan kebersihannya. Jadinya, alam semakin tercemari, keindahan hilang, lalu para pengunjung pun bubar.
Kalau di luar negri, banyak pihak yang saling mendukung. ESemoga di Indonesia seperti itu.
Ah, iya Mba, sepertinya lain kali saya juga perlu menyertakan pesan pesan untuk menjaga kebersiham saat jalan jalan.
Sip Mbak. Dimulai dari kita. 🙂 Bismillah.
tapi bener itu artikel, edukasi lingkungannya juga harus di promosikan juga yah.
Iya 🙂