Anisa AE – “Hai, Win!” Edwin hampir menjatuhkan ponsel kala Sandra tiba-tiba menepuk bahunya. Wanita itu mengibaskan rambut yang hitam berkilau, membuat jakun Edwin naik-turun. Sungguh tak menyangka, Sandra yang dulu tidak ada cantik-cantiknya, kini menjelma seperti bidadari. Sementara istrinya? Berbalik seratus delapan puluh derajat. Kecantikannya begitu cepat memudar, padahal usianya belum menginjak kepala tiga. Itulah mengapa, Edwin terkadang merasa malu jika harus jalan dengan Rimanda, apalagi dengan Winda.
Edwin mengacak-acak rambutnya sendiri. “Apa yang sebenarnya kupikirkan? Mengapa aku harus membandingkan Sandra dengan Rimanda? Oh, ayolah, Win! Bukankah selama ini Rimanda mengabdi dengan baik sebagai istri denganmu?” Nurani Edwin bersorak, membuat pria itu terjun ke lembah keraguan.
“Kok ngelamun, Win? Jadi, ‘kan?” tanya Sandra. “Oh, jadi apa, San?” tanya Edwin salah tingkah. Sungguh, kecantikan Sandra
membuatnya satu sisi naluri kelakiannya bangkit. Wajah itu … kulit itu … tubuh itu …. Bisakah Rimanda memilikinya juga?
membuatnya satu sisi naluri kelakiannya bangkit. Wajah itu … kulit itu … tubuh itu …. Bisakah Rimanda memilikinya juga?
“Ke rumahmu. Aku sudah kangen sama Rimanda,” jawab Sandra.
Mendengar nama istrinya disebut, Edwin menghela napas, lalu menggeleng pelan. Meski dulu terlibat masalah pelik, Sandra dan Rimanda tetap bersahabat. Persahabatan mereka dulu nyaris hancur karena Edwin. Namun, laki-laki mana yang tak tergoda dengan Sandra? Bahkan sepanjang acara reuni tadi, Edwin bisa menangkap lirikan nakal yang dilayangkan teman-teman lelakinya untuk Sandra.
“Oh, iya. Ayo,” ajak Edwin.
“Ini kunci mobilnya. Kamu yang nyetir, ya?” pinta Sandra sambil menyerahkan kunci mobil di hadapan Edwin.
Tangan Edwin terjulur, hendak mengambil kunci itu. Namun, Sandra menangkup tangan Edwin sekaligus kunci mobil dengan tangannya. Jemari Sandra menari memberikan usapan lembut pada punggung tangan Edwin. Pria itu terperangah sekaligus salah tingkah.Tangan Sandra terasa sangat lembut. Edwin merasa tak rela melepasnya.
“Cincin pernikahanmu bagus,” puji Sandra sambil melirik cincin di jari manis Edwin.
“Ng, maaf, San,” Edwin buru-buru menarik tangan dengan jari yang mengapit kunci.
“Kita berangkat sekarang, ya? Rimanda pasti sudah menunggu.”
Sandra tak menjawab. Ia langsung mengambil posisi duduk di samping bangku kemudi. Lalu, Edwin pun masuk dan menghidupkan mesin mobil. Akhirnya mobil melaju, meninggalkan asap yang tak terlihat, tapi menyisakan aroma menyesakkan.
Suasana hening. Edwin tampak konsentrasi mengemudi, sementara Sandra sesekali mencuri pandang ke arah lelaki itu. Ia bahagia sekarang. Salah satu impiannya tercapai, yakni duduk satu mobil dengan Edwin, tepatnya di samping lelaki itu. Dulu, saat ia pertama kali menumpang mobil Edwin. Ia hanya diam di belakang bersama Rimanda. Hanya diam, karena Edwin lebih senang bercakap-cakap dengan Rimanda daripada dengannya.
“Win, sebelumnya maaf, ya? Aku dengan dari anak-anak tadi, katanya kamu ada masalah pekerjaan, ya?” tanya Sandra, memecah kesunyian.
Edwin hampir tersedak dengan ludahnya sendiri. Sial! Padahal ia sengaja menutup rapat-rapat rahasia itu, tapi akhirnya bocor juga. Tapi, masih untung Edwin tidak dipenjarakan karena sudi mengganti uang yang dikorupsi meski harus mengorbankan hampir seluruh asset berikut mobilnya. Hampir semua perusahaan menolak untuk mempekerjakan Edwin karena nama baiknya sudah rusak. Lagipula, siapa mulut ember yang menyebarkan itu? Sungguh, Edwin ingin mencekiknya sampai mati.
“Aku difitnah, San. Akhirnya aku dipecat. Ekonomiku berantakan, bahkan mobil saja aku tidak punya,” dusta Edwin. Mana mungkin ia terus terang di depan Sandra kalau sudah melakukan korupsi?
“Jadi, sekarang kamu nganggur? Astaga, yang sabar, ya, Win? Pasti berat untukmu. Apalagi kau punya anak istri,” hibur Sandra.
Kini, nurani Sandra seakan menyeringai seram. Lelaki yang kehilangan pekerjaan biasanya akan berada pada titik terapuh dan sangat mudah dipengaruhi.
“Aku punya butik, Win. Kamu bisa bekerja di sana. Seperti yang kau tahu, aku bakal bolak-balik Indonesia-Prancis. Aku butuh orang yang bisa dipercaya untuk mengelolanya. Intinya, kamu jadi managernya. Bagaimana?” tawar Sandra.
Mata Edwin berbinar-binar. Ia merasa wanita di sampingnya ini adalah bidadari pembawa keberuntungan. “Kamu serius, San?” tanya Edwin memastikan.
Sandra mengangguk. “Tentu aku serius. Nggak usah dipikirkan soal gaji. Aku bisa membayarmu dengan layak,” pungkasnya.
Senyum Edwin terkembang. Mimpi apa dia semalam? Di tengah masalah yang menguras tenaga dan pikiran, keberuntungan datang untuk menyelamatkannya. Keberuntungan itu datang dari Sandra, wanita yang dulu ia remehkan. Ya, Edwin paham betul
perasaan Sandra padanya atas cerita Rimanda. Sial! Edwin jadi menyesal pernah meremehkan wanita itu. Kini, Sandra menjadi wanita yang sangat hebat. Wanita yang cantik, yang tidak akan memalukan jika diajak jalan berdua. Wanita yang mandiri, yang bisa menghasilkan milyaran uang.
perasaan Sandra padanya atas cerita Rimanda. Sial! Edwin jadi menyesal pernah meremehkan wanita itu. Kini, Sandra menjadi wanita yang sangat hebat. Wanita yang cantik, yang tidak akan memalukan jika diajak jalan berdua. Wanita yang mandiri, yang bisa menghasilkan milyaran uang.
Edwin benar-benar menyesal sekarang. “San, apa kau serius? Kau tidak takut aku menipumu? Aku—”
“Aku melakukannya bukan tanpa syarat, Win,” potong Sandra, membuat Edwin mengerutkan alis.
“Syarat? Apa itu?”
Sandra tidak menjawab. Ia hanya kembali meraba tangan kiri Edwin yang masih memegang kemudi. Pori-pori kulit Edwin terasa dialiri tenaga listrik yang membuat naluri kelakiannya kembali bangkit. Edwin menoleh, menatap Sandra.
Edwin hampir lemas kala Sandra mengedipkan sebelah mata. Kedipan mata yang mesra dan menggoda.
***
Mobil berhenti di sebuah rumah megah dengan gerbang yang tertutup rapat. Berulangkali Edwin membunyikan klakson, berharap Rimanda segera datang membukakan gerbang. Tak lama kemudian, pintu gerbang diseret pelan, lalu menampilkan sosok wanita
kumal yang membuat Sandra ingin tertawa keras.
kumal yang membuat Sandra ingin tertawa keras.
Rimanda terlihat jauh lebih ‘hancur’ dari yang Sandra bayangkan. Mungkin Rimanda mengedit fotonya sendiri untuk di-upload ke media sosial. Tentu Sandra merasa tak percaya jika wanita di hadapannya adalah sahabat … ah, bukan! Tapi pengkhianat. Ya, pengkhianat itu telah menjelma menjadi wanita jelek. Sangat jelek!
Sandra turun dari mobil, disusul Edwin. Sandra membatin, penampilan apa itu? Rimanda memang mengenakan daster payung hitam bercorak bunga. Tubuhnya gemuk, sepertinya dua kali lipat dari waktu SMA dulu. Kulit Rimanda sangat kusam, seakan tak terjamah lulur selama bertahun-tahun. Beberapa jerawat menghiasi wajah Rimanda yang tak kalah kusam. Aromanya … oh! Sandra merasa mual! Padahal hanya berjarak beberapa meter, tapi Sandra bisa mencium aroma asam sekaligus amis.
“Kamu sama siapa, Mas?” tanya Rimanda, sambil menatap Sandra dengan pandangan tidak suka.
Edwin hendak menjawab, tapi Sandra keburu menimpali.
“Kamu lupa sama aku, Rim? Ya ampun!” Sandra memutar bola mata.
Rimanda terdiam. Matanya menyelidik Sandra dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sandra tersenyum sambil berkacak pinggang.
“Keterlaluan! Sahabat sendiri dilupakan!” decak Sandra.
Mata Rimanda membulat sempurna. “Kamu … kamu Sandra?” pekiknya.
“Oui! Je suis Sandra!” jawab Sandra, sengaja memakai Bahasa Prancis.
Air mata bahagia Rimanda menetes. Wanita di hadapannya benar-benar Sandra.
“Ya ampun, San! Sepuluh tahun nggak ketemu. Kamu apa kabar? Kamu cantik sekali sekarang!” Rimanda menghambur dan memeluk Sandra.
Andai saja Rimanda bisa melihat ekspresi Sandra, mungkin ia akan segera melepas pelukan itu. Sandra meringis jijik, tak tahan dengan aroma tubuh Rimanda. Tidak hanya itu, pikiran-pikiran jahat memenuhi pikiran Sandra. Seperti inikah saingan Sandra sekarang? Cuih! Sandra heran, bagaimana bisa Edwin bertahan sepuluh tahun dengan perempuan serupa pantat panci ini?
“Tadi nggak sengaja ketemu Edwin di reuni, terus aku minta diantar ke sini. Edwin yang nyetir,” terang Sandra.
“Aduh, maaf ngerepotin, San. Mobil kami baru dijual. Udah gampang mogok, malas bawa-bawa ke bengkel melulu,” dusta Rimanda.
Sandra meringis. Mobil disita saja bilangnya dijual, batinnya.
“Oh iya, Rim,” timpal Edwin. “Sandra kasih Mas pekerjaan lho! Syukurlah, ya? Oh iya, mulai kapan aku bisa kerja?” tanyanya.
“Minggu depan, Win. Soalnya aku harus isi beberapa talkshow. Nggak masalah, ‘kan?” jawab Sandra.
Edwin mengangguk sambil tersenyum.
“Tapi, kalau kamu butuh apa-apa, tinggal calling aja. Aku siap bantu kok,” lanjut Sandra.
“Aduh, jadi ngerepotin, San. Makasih, ya?” ucap Rimanda. “Oh iya, masuk dulu, yuk? Kamu pasti lelah. Mau minum apa? Jus, teh, atau kopi?”
“Teh hangat saja, Rim. Terima kasih, ya?”
Rimanda berjalan dengan riang di depan. Sementara Edwin berjalan agak santai di belakangnya. Sandra yang berada paling belakang berusaha menyejajarkan jalan dengan Edwin. Punggung lebar Edwin membuat angan-angan Sandra melambung. Ia ingin bersandar di punggung itu dan menumpahkan rasa cinta yang telah menggelora.
Kini, langkah mereka telah sejajar.
Sandra memeluk pinggang Edwin dan menyandarkan kepala di lengannya. Edwin terperanjat. Ia ingin melepaskan pelukan Sandra karena takut Rimanda mengetahuinya. Namun, entah mengapa tubuhnya mematung, seakan kelewat nyaman dengan sentuhan Sandra.
Kini, Sandra mendongakkan kepala dan menatap mata Edwin dalam-dalam.
“Sesuai janji, aku kembali datang, Win,” lirih Sandra.
Edwin menelan ludah, bingung mau membalas apa.
Sandra segera melepas tangannya begitu Rimanda berbalik dan menebar senyum ceria. “Masuk, yuk?”
Selangkah lagi, Sandra akan memasuki istana Rimanda.
Wanita itu menyeringai licik. Permainan telah dimulai.
Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, dan G+, ya? Kalo info ini bermanfaat buat kamu. Nanti akan langsung saya follback buat yang komentar langsung. Bisa juga follow twitter @anis_sa_ae dan FP Anisa AE biar dapat update info tiap hari ^^v