Anisa AE – Sebuah kertas berhias bunga terselip di bawah pintu kamar Sandra. Gadis itu mengucek matanya sebentar, lalu memungut kertas itu. Pikir Sandra, pasti mamanya yang meletakkan kertas itu semalam. Sambil menguap, Sandra melepas sampul plastik kertas berbau wangi itu. Rupanya sebuah surat undangan.
Mata Sandra terbelalak seketika, melupakan rasa kantuk yang tadi mendera. Nama Edwin dan Rimanda terpampang di sana. Pikiran Sandra melayang pada pertemuan terakhirnya dengan Rimanda dua minggu lalu. Masih tergambar jelas gurat amarah pada wajah Rimanda padanya kala itu. Sandra tersenyum puas. Setidaknya Rimanda tahu jika dirinya tak akan menyerah begitu saja. Ingat, Edwin milik Sandra. Rimanda hanya meminjamnya.
“Mungkin saat ini kamu menang, Rim. Tapi, sampai kapan pun aku akan terus berjuang mendapatkan cinta Edwin.” Sandra bermonolog di depan cermin riasnya. Sebelah bibirnya terangkat, menertawakan nasib cintanya yang mengenaskan. Di antara tawanya yang sinis, Sandra menangis. Bahunya berguncang, seakan memikul beban yang begitu dalam. Dendam dan kesedihan memang dua hal yang sanggup menghitamkan hati manusia seketika. Dua hal itu pula yang mampu membuat hati yang lembut, berubah sejahat setan.
Sandra membuka undangan itu dan membaca tanggal pernikahan Rimanda. Tepat di tanggal keberangkatan Sandra ke Prancis.
Pintu kamar Sandra diketuk dari luar. Sandra terkesiap, lalu buru-buru menyeka air mata. Siapa lagi yang mengetuk pintu itu kalau bukan mamanya?
“Masuk, Ma. Pintunya nggak Sandra kunci,” ucap Sandra.
Pintu dibuka perlahan. Sosok Mama yang telah rapi dengan balutan setelan blazer peach perlahan menghampiri Sandra.
“Mama yang menyelipkan undangan itu. Kamu sudah baca isinya?” ujar Mama sambil melirik undangan yang masih dipegang Sandra.
“Sudah, Ma,” jawab Sandra lirih.
Mama menghela napas, lalu tersenyum. “Mama harap, kamu nggak kecewa terlalu dalam karena ini, San. Justru kejadian ini bisa kamu jadikan pelajaran. Edwin bukan lelaki yang baik. Beruntung, bukan kamu yang masuk dalam jeratnya. Yang paling Mama takutkan adalah ketika putri Mama hamil di luar nikah,” nasihat Mama panjang lebar.
“Mama tahu soal Rimanda?” tanya Sandra balik.
Mama mengangguk. “Entah siapa yang menyebarkan. Berita itu sudah tersebar di kalangan wali murid SMA Teladan, terutama angkatanmu. Sebenarnya, Mama kasihan sama Rimanda. Dia masih terlalu dini untuk berumah tangga. Tapi, begitulah.
Pergaulan bebas memang menyesatkan.”
Pergaulan bebas memang menyesatkan.”
Sandra tersenyum tipis.
“Tapi, ada lagi yang lebih Mama takutkan dari itu, Sandra,” lanjut Mama.
“Apa itu?” tanya Sandra.
“Sandra, ingat pesan Mama ini baik-baik dan pegang sampai akhir hayatmu. Kau boleh mencintai lelaki mana pun, asal dia bukan lelaki beristri. Jangan menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Kita adalah wanita yang sepatutnya bisa memahami perasaan wanita lain. Sandra mengerti, ‘kan?”
Sandra mengangguk. Sebenarnya bukan hanya sekali ini Mama melontarkan nasihat seperti itu. Semenjak papa Sandra menikah lagi, Mama begitu anti dengan wanita yang merebut suami orang. Wanita pelakor, wanita jahat. Bagi Mama, mereka tak ubahnya murahan yang mengandalkan kecantikan dan tubuh untuk menggaet lelaki beristri. Tak heran, saingan Mama waktu itu memang cantik, tak ubahnya model yang sering tampil di televisi.
“Oh iya, San. Minggu depan, kau akan datang di pernikahan Rimanda, ‘kan?” tanya Mama.
Sandra menggeleng lemah. “Sandra malas, Ma.”
“Datanglah, San. Setidaknya sebelum kamu berangkat ke Prancis nanti. Kamu harus bisa memaafkan Rimanda. Seperti yang Mama bilang, Edwin bukanlah yang terbaik buat kamu,” ucap Mama.
“Tapi, Sandra cinta sama Edwin, Ma. Sandra nggak tahu, bisa ngelupain Edwin apa nggak.”
Mama tersenyum. Tangannya membelai lembut kepala Sandra.
“Jalan hidupmu masih terlalu panjang, San. Kamu pasti akan jatuh cinta lagi kelak. Yang penting, fokus kuliah dulu. Bukankah kamu ingin jadi desainer terkenal? Inilah saatnya.”
Sandra mengangguk sambil tersenyum lebar, lalu memeluk Mama.
Sandra tidak tahu ini benar atau salah, Ma. Tapi, apa pun yang terjadi, Sandra tidak akan melepas cinta Sandra. Meski harus menunggu sampai puluhan tahun, Sandra tidak peduli. Suatu saat nanti, Sandra akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milik Sandra.
❀❀❀
Rimanda tampak sangat cantik dengan gaun putih berhiaskan bordir bunga. Rambutnya dibiarkan terurai rapi dan hanya dihiasi mahkota bunga. Sederhana, tapi elegan. Edwin pun demikian, tampak tampan dengan setelah jas putih. Bros mawar merah tersemat di dada kirinya. Sayang, di hari yang seharusnya indah itu, beberapa kesedihan tak mampu disembunyikan. Perut Rimanda yang membuncit, wajah kusut Edwin dan matanya yang berkaca-kaca, serta senyum dipaksakan dari para orang tua mempelai.
Tak sedikit bisik-bisik cibiran yang terlontar. Namun, ini sudah risiko. Aib yang diciptakan Edwin dan Rimanda tak bisa disembunyikan. Semua terlanjur tahu, entah siapa yang memulai. Namun, untuk kali ini Rimanda tak boleh cengeng. Meski dalam keadaan mual yang bercampur aduk dengan rasa takut, Rimanda tetap tersenyum dan menyalami para tamu.
“Jangan terlalu lelah, Rim. Ingat, kamu sedang hamil,” bisik Edwin yang selalu berada di samping Rimanda.
Rimanda tersenyum, lalu menoleh dan menatap Edwin. “Terima kasih karena kau mau mempertahankan anak kita, Win. Maaf. Gara-gara aku, impian kita menjadi berantakan,” sesal Rimanda.
“Itu adalah kesalahan kita, Rim. Aku tak akan membiarkan siapa pun menggugurkan anak kita. Kalian keluargaku. Namun, kalian mungkin harus sedikit bersabar. Papa tetap akan menguliahkanku. Aku belum bisa bekerja dan menafkahi kalian.”
Rimanda mengangguk paham dengan senyum tetap terukir, padahal hatinya pedih. Tak dapat dibayangkan, rumah tangga macam apa yang akan dibangunnya dengan Edwin nanti? Mungkinkah pernikahan yang dibangun atas dasar kesalahan bisa mencapai kebahagiaan?
Rimanda merasa pusing kala memikirkan, bagaimana hidupnya setelah jabang bayi lahir? Ketika itu, Edwin pasti belum menyelesaikan kuliahnya. Memang, mama dan papa Edwin menjamin kehidupan Rimanda dan anaknya, asal Rimanda tinggal dengan mereka. Namun, Rimanda tahu, mereka setengah hati melakukannya. Mereka tak menyukai Rimanda, terlebih ketika janin benih Edwin mengeram dalam rahimnya.
“Selamat, Rim, Win.” Sebuah suara serak memecahkan lamunan Rimanda. Ia terperangah.
“Sandra? Syukurlah kau datang! Terima kasih!” pekik Rimanda, lalu menghambur memeluk Sandra.
Sandra membalas pelukan Rimanda dengan wajah datar. Luka itu masih belum sirna dalam hatinya. Andai tidak ada banyak orang di sini, mungkin Sandra akan menghempaskan pelukan Rimanda. Huh! Menyebut namanya saja membuat Sandra muak. Memeluk Rimanda seperti ini membuat perutnya seakan berputar. Menjijikkan.
Rimanda melepas pelukannya. Kini, pandangan Sandra beralih pada Edwin.
“Jaga Rimanda baik-baik, Win. Selamat, kamu akan menjadi ayah lima bulan lagi,” ucap Sandra, tentu disertai sindiran.
Edwin tersenyum masam. “Terima kasih.”
“Pesawatmu berangkat hari ini, San?” tanya Rimanda, sengaja mengalihkan pembicaraan.
Sandra mengangguk. “Aku langsung ke bandara sebentar lagi. Mungkin, kita akan bertemu beberapa tahun ke depan. Kuharap, kalian tidak merindukanku.”
“Tentu kami akan merindukanmu. Kau kan sahabat kami,” balas Rimanda.
Sandra tersenyum. “Maaf ya, Rim? Aku nggak bisa lama-lama. Kuharap, rumah tangga kalian bahagia. Tapi, yang pasti aku akan datang lagi untuk kalian,” pungkas Sandra, dengan memberikan penekanan pada kalimat terakhir. Sepasang matanya menghunjam mata Rimanda yang mendadak salah tingkah.
Tanpa basa-basi, Sandra berbalik dan pergi tanpa menoleh. Untuk apa melihat kebahagiaan mereka? Mungkin, kali ini Sandra harus bersabar. Namun, neraka sebenarnya akan dimulai nanti. Sandra bersumpah. Ia akan kembali suatu hari nanti. Kembali untuk merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.
Jangan lupa tinggalkan komentar, follow blog, dan G+, ya? Kalo info ini bermanfaat buat kamu. Nanti akan langsung saya follback buat yang komentar langsung. Bisa juga follow twitter @anis_sa_ae dan FP Anisa AE biar dapat update info tiap hari ^^v