“Gak usahlah belajar gitu. Lagian kamu kan gak bisa renang. Gampanglah soal nilai renang nanti. Gimana?”
“Ya udah, kamu masuk ke kelas, bentar lagi udah jam masuk kelas.”
“Iya, Bu. Saya permisi.” Sasha tersenyum, lalu pergi meninggalkan ruang guru, hendak menuju kelas.
Walau tahu bahwa nilai yang diberikan tak akan lebih dari tujuh, namun gadis itu tak bisa berkata tidak. Bukan hanya dengan Bu Sofia, tapi dengan guru yang lain juga. Sasha menarik napas panjang, sepertinya dia harus berburu buku itu lagi karena buku tersebut sangat susah didapatkan. Tidak seperti bukunya yang lain. Jika mudah, maka Bu Sofia bisa langsung membelinya, tidak perlu meminta pada Sasha.
Teriakan histeris dari murid-murid perempuan yang berkumpul di pinggir lapangan basket langsung terdengar saat pintu mobil merah tersebut terbuka. Terlihat seorang lelaki membuka pintu, lalu turun dengan perlahan. Matanya menatap tajam halaman sekolah, lalu menutup pintu mobil. Dia berjalan memutari mobil, membuka pintu sebelah sopir, lalu duduk di sana, seperti menunggu seseorang.
Lelaki itu melihat jam di tangannya berkali-kali. Gelisah melingkupi wajah tampannya yang mulai memerah. Dia mulai memakai kacamata hitam sambil berjalan ke arah lapangan basket.
Teriakan makin histeris, lalu beberapa anak perempuan saling menyenggolkan lengan sambil tersenyum malu-malu. Namun, langkah lelaki itu berhenti kala melihat Sasha terus berjalan melewatinya, tanpa melirik maupun menoleh sama sekali. Dibukanya kacamata hitam, memastikan bahwa gadis itu memang tak mempedulikannya.
“Eh kamu!” teriak lelaki itu pada Sasha yang makin menjauh. “Oi anak kepang dua.”
Senyum tersungging dari bibir Brama, “menarik.”
Bersambung …